RSS Feed

Monday, October 05, 2009

Monolog Dua Sisi


Sisi 1:
Kesedihan memiliki alasan untuk bertindak konyol. Dan sekarang aku sedang bersedih. Jadi apakah penarikan kesimpulan bahwa aku diperkenankan bertindak konyol bisa dikatakan valid??

Sisi 2:
Valid untuk kategori mana?? Modus Tolenkah?? Atau Modus Ponen?? Atau mungkin Silogisme?? Ahh…jangan2 itu hanya akal2anmu saja sebagai pembenaran diri. Haha…kurasa aku masih punya sedikit akal sehat untuk mencegahmu bertindak bodoh. Ayolah…bukankah ini kesedihan yang biasa?? Kupikir dirimu sudah cukup lihai mengendalikan diri: hati dan pikiranmu.

Sisi 1:
Itu tak semudah yang kau bayangkan!! Kau benar, kesedihan ini memang biasa, tapi apakah karena ini sudah menjadi kebiasaan lantas tak boleh bersedih?? Aku sempat berpikir bahwa aku sudah cukup kebal dengan hal2 seperti itu. Tapi jika datangnya berulangkali dan merobohkan setiap dinding pertahanan yang setengah mati kubangun, apa aku masih punya kekuatan menegakkannya untuk yang kesekian kali??

Sisi 2:
Absolutely!! Itu yang perlu kau lakukan. Sebab jawabannya disana. Tidak ada jalan keluar lain untuk menegakkan bangunan yang roboh kecuali membangunnya lagi. Tapi kupikir kerusakan yang kau alami tak separah yang kau bayangkan. Coba lihat, tinggal sedikit saja menata bagian2 yang terkoyak. Ditambah sedikit melapisi dinding2 yang terlihat retak. Itu saja. Mudah kan??


Sisi 1:

Tapi aku akan menangis jika mengingat serpihan2 yang hampir lantak itu. Bagaimana bisa aku memperbaikinya jika mengingatnya saja aku sudah tersedu.


Sisi 2:

Hmm…aku tak bisa memungkiri persangkaanku padamu, bahwa kau akan menangis dalam perjalanan mengembalikan keutuhan dirimu. And If I were you, I would never keep it. Sebaliknya, kupikir membiarkan matamu mendapatkan haknya sementara waktu tak mengapa, toh tak akan berlangsung lama. Tapi kau harus berjanji pada dirimu sendiri untuk yang satu itu.


Sisi 1:

Terkadang aku merasa lelah ketika aku menyadari –lagi- satu fakta penting tentang jalan hidup: aku mendapati diriku tengah mendakinya setelah sebelumnya mungkin menuruni rangkaian jalan itu. Dan bukan sekadar ucapan, menyadari sesuatu yang masuk akal ketika berada di pendakian hidup amat sangat tidak mudah ketimbang menerimanya saat hidup menapaki jalan yang landai.


Sisi 2:

Tidak mudah memang. Tapi kupikir mencoba merasionalkan pikiran harus sering kita lakukan. Yakinlah bahwa kita bisa. Bisa karena biasa. Biasa karena terpaksa. Yeah…terkadang sesuatu awalnya perlu dipaksakan.


Sisi 1:

Sebentar, kau bilang apa tadi, kita?? Hei…kita itu minimal dua pihak lho…


Sisi 2:

Lho memang kita kan?? Aku dan kau…karena kita satu. Jadi harus saling mendukung satu sama lain.


Sisi 1:

Oh…oke…kupikir hanya aku sebab aku merasa kau menyudutkanku.


Sisi 2:

Kuakui, awalnya iya, rasanya memperlakukanmu seperti objek yang tertindas lucu juga. Tapi seketika aku sadar jika kau tertindas maka aku pun tertindas, berlaku sebaliknya. Kedua kita sama2 bisa berperan sebagai syarat cukup dan syarat perlu dalam sebuah implikasi. Dimana bagian yang satu akan jadi kuat sebab ada bagian lain.


Sisi 1:

Oke…oke…kau cukup tahu kemampuan logika matematikaku sampai tahap apa, jadi lebih baik kusarankan kita kembali pada merasionalkan pikiran. Aku sedikit menangkap maksud dari frasa kata itu, kenapa aku –kau juga- harus melakukannya. Tujuannya tak lain adalah agar aku tak terjerat dan terjebak dalam kesedihan berkepanjangan, betul kan??


Sisi 2:

Exactly right!! Sebab aku –kau juga tentunya- memilih untuk jadi orang yang bahagia. Orang yang menaklukan kesedihannya atas –sebutlah- kegagalan untuk kebaikan yang Tuhan masih rahasiakan. Yang boleh jadi rahasia itu lebih indah. Jadi rasanya tidak berlebihan jika kau –aku juga- mengusung kesedihan sebagai alasan untuk bersyukur.


Sisi 1:

Kau ada benarnya juga. Aku jadi sangat bersyukur masih bisa merasakan sedih, sebab aku bisa melihat dunia yang lain melalui pandangan yang lain. Dan yang pasti, aku bisa semakin dekat dengan Tuhanku. Yang menciptakan kesedihan sekaligus penawarnya dalam waktu yang bersamaan, tanpa aku sadari.


Sisi 2:

Ok…problem solving has done…good girl…=)

1 comment:

febriyana said...

dominasi hidup mu bukan lah hanya pada akal(otak) dan perasaan(hati), melainkan dalang dan ceritamu sendiri yang sudah di tentukan. baiknya kamu tidak terlalu jauh memikirkan hal-hal yang kadang tidak berdalil. jalani saja menurut ilmu yg kamu tahu karenan nanti ilmu itu yg akan menjamin mu. bukankah suatu saat nanti segala sesuatunya akan dipertanyakan?lalu atas dasar apa kamu menjawab??keyakinankah atau ilmu yang kamu miliki??
semua kebaikan yang kamu lakukan pun akan di pertanyakan atas dasar apa kamu melakukannya?? iba kah? kewajibankah?atau perintahkah?? lalu kamu tahu dari mana bahwa itu harus dilakukan?adakah ilmunya? seberapa benar dan faham kah tentang ilmu tsb.

Post a Comment