RSS Feed

Monday, February 15, 2010

Bencikah pada Bumi?

Bintang bertandang, kemudian menghilang.
Berganti surya menawan hingga menegap di puncak dunia.
Terik menjerik berputar2 diantara waktu yg mendetik.
Memanggang bumi yg semakin membuncit.
Kemudian tanya itu menghampiri: bencikah surya pada bumi sehingga terik muncul setengah mati?


Tiba2 di kejauhan awan kelam berarak garang meluncurkan berondongan hujan.
Guntur dan petir mengaum bersahutan.
Wajah langit tak hanya kelabu tapi legam tak berupa.
Seketika tanya itu berulang: bencikah hujan pada bumi sehingga langit menuai badai?

Lalu bau tanah basah meruah.
Menghidupkan bumi dari kematiannya.
Menegakkan akar2 lemah sebab terpelanting usia.
Menyegarkan kuncup2 muda yang menyembul di balik dedaunan tua.
Aahh indahnya…
Masihkah harus terlintas pertanyaan yang sama? Mengapa ada benci untuk bumi?

Tapi kemudian angin membisikkan pada sebuah telinga tentang benci.
Bahwa terik yang melingkupi bumi itu bukan tanda benci, melainkan ekspresi cintanya pada bumi.
Bahwa hujan yang merintik bahkan membadai di langit bumi itu bukan karena benci, tetapi deklarasi cintanya pada bumi.

Dengan sadar lisan itu kembali berucap, kenapa semua bukan tentang benci tapi justru cinta yang bersemi?
Sebuah suara kemudian mengemuka, sejurus berkata, “Jawabnya ada disini, di hatimu sendiri.”

***

Ketika rinduku pada lelaki itu membuncah. Lelaki yg kupanggil dengan sebuah sebutan: Ayah. Miss u already dad…

Sunday, February 14, 2010

Menjadi Jujur pada Diri

Ini pengalaman ketiga saya membaca karya Dewi Lestari. Sejak mengkhatamkan novel Supernova-Petir-nya, lalu menamatkan 11 kisah Recto Verso yg mengagumkan, kali ini saya dibuat takjub oleh rentetan bahasanya dalam Perahu Kertas. Saya punya pandangan sendiri terhadap karya Dee (nama pena Dewi Lestari –red), tentunya pandangan yg berbeda ketika saya menikmati karya Helvy Tiana Rossa atau Asma Nadia (dua penulis yg saya gila2i karyanya). Sebab menurut penerawangan kacamata sastra saya (jjiiiaahh gayanya doang tuh), genre tulisan Dee dan HTR-Asma Nadia memang dua hal yg berbeda, namun memiliki kesamaan: sarat makna (nah yg ini serius).


Makna. Itulah yg sangat penting saya kira. Satu kata yg harus bisa kita lihat dan ‘ambil’ ketika membaca sesuatu, tak hanya membaca sebuah buku, tapi membaca seluruh liku kehidupan. Meski bukan dalil Al-Quran atau Hadist yg tentunya jauh lebih indah dan penuh makna, saya rasa tak ada salahnya membelajarkan diri melalui media ini. Meski bukan novel kategori religi, namun setiap baitnya justru melabuhkan saya pada pemikiran tentangNYA. Tentang keindahan jalan yg sudah DIA gambarkan untuk saya jauh2 hari, bahkan ketika langit bumi beserta apa2 yg diantara keduanya ini belum lagi tercipta. Dan saya sangat bersyukur dengan itu.

Saya berharap tak berlebihan dalam mengapresiasi karya Dee ini, dan memang tak ada niatan kesana. Hanya mencoba merefleksi apa yg saya baca saja. Sebab selama buku itu menjadi fokus mata saya, saat itu pula saya diajak tak hanya menikmati bahasa sederhananya, melainkan digandeng untuk menjelajah tentang diri saya sendiri, tentang apa yg saya ‘mau’, tentang apa yg sudah saya jalani untuk itu, tentang aaahhh banyaaakk…Intinya ada sebuah pemaksaan yg samar disana: Saya harus berpikir. Buku ini sukses menyentil benak saya yg sedang berwarna abu2, menjadikannya sedikit cerah dan tak lagi buntu.

Buku itu kebanyakan berbicara soal impian yg berbalut keraguan, soal mental yg dijatuhkan keadaan, soal keyakinan yg tak hanya butuh pengakuan melainkan pembuktian, soal kebebasan yg harus digenggam sehingga tak karam diperolokkan kehidupan.

Saya diingatkan bahwa semuanya akan semakin ringan dan lebih berarti ketika menjalaninya sepenuh hati. Tanpa desakan pihak manapun dari kanan dan kiri. Tanpa harus memuaskan sosok lain dan menyudutkan diri sendiri. Tapi tetap mencoba memberi keseimbangan antara keinginan pribadi dengan pihak2 di luar diri. Buku ini ingin bilang, “Be yourself, be honest to yourself!” Yang pertama mungkin sudah biasa didengar, jadi diri sendiri. Tapi yg kedua nampak jarang berembus di udara, jujur pada diri sendiri.

Lalu seusai menuntaskan kalimat terakhir di lembar terakhirnya saya langsung mencatat sesuatu dalam buku ingatan saya. Ada beberapa tanya disana yg harus saya jawab. Sudah jujurkah saya, inikah jalan yg saya mau, sudah bisakah bernegosiasi dengan realita sehinga mimpi yg saya punya tak harus jadi kandas ketika nyatanya hidup memunggunginya.

Kemudian saya sadar, bahwa mimpi saya tak harus menguap meski udara semesta teriknya tak terkira. Bahwa mimpi saya tak harus jadi beku sebab suhu yg mencapai minus dan membuatnya mati kutu. Bahwa untuk menjadi diri saya yg sukses di masa mendatang, mungkin saya harus berjalan memutar. Yaa…jalan yg berputar. Jadi ingat nasehat seseorang, “jangan pernah anggap jalan yg kita lalui adalah jalan akhir, sebab bisa jadi jalan ini adalah tahapan menuju impian dan cita2.”

Duuuhh, pokonya ga akan habis se-note deh ngupas tuh buku. Bingung juga mau nulis apa lagi. Hmm…sebagai penutup saya hanya mau berkata untuk diri saya sendiri:

Na, kamu ga perlu jadi Dewi Lestari buat bisa merangkai kata2 yg melahirkan banyak makna. Kamu ga perlu jadi Sherina buat bisa menggubah nada dan menyanyikannya. Kamu juga ga perlu jadi Affandi buat bisa meramu warna dan menjadikannya lukisan indah dunia.

Kamu hanya cukup jadi dirimu sendiri apa adanya, menjadi jujur sebagai seorang RINA atas setiap realita yg siap kamu makna.

And…finished.

Tuesday, February 09, 2010

-ot -ot

Let me laugh for a while before I show you this funny note…bwhahahahaha wkwkwkwk…ups oke done, now check this note out…

***

Jantungku serasa bass yg di betot. Berdegup tak karuan sampai kepalaku cekot2. Kadang mata juga ikutan melotot. Demi menahan rasa yg kian hari kian berbobot. Bahkan aku hanya makan carrot dan tahu gejrot. Bagaimana berat badanku tidak jadi melorot?? Tapi untungnya tak sampai nyanyi lagu latah eh copot-copot.


Jujur ini bukan anekdot. Rasa ini sungguh membuatku repot. Jiwa dan ragaku pun ikut berkomplot. Perhatian yg kupunya semuanya tersedot. Hingga wajahku dipenuhi jerawat seumpama corak polkadot. Pernah kuperingatkan sampai mengurat otot tapi tetap hatiku tak bisa membelot. Sampai2 aku ditertawakan si cepot. Karena malu kemudian aku ngumpet di balik got. Eehhh ada kambing badot, oh my goat…(hiyyaaa…maksa banget seeh pa??)

Wahai perempuan, tak usah kau sewot. Sebab aku pun tak lantas jadi nyolot atas rasa yg telah menyulapku serupa robot. Tak usah pula menampilkan wajah angot. Sebab aku juga tak mampu melawan meski rasa ini malah membuatku jadi lemot, lambat kaya bekicot, kemudian agak bolot, bersyukur tak sampai jadi idiot. Yaa mungkin sedikit2 linglung seperti pak Bendot.

Definisimu tentang rasa yg merebak diantara udara ini terlalu alot. Santai sajalah dan jangan terlalu kolot. Toh ini tulus, bukan asal comot. Pastinya aku ikhlas dan tidak minta persekot. Insya Alloh tak sampai melanggar batas2 asimtot.

Tak peduli apa reaksimu, aku akan mengejar rasa itu meski harus melewati hotel marriot, menjelajahi desa bojong kenyot, bahkan memipir kawasan dayeuh kolot. Tak peduli harus dengan angkot atau vespa jebot. Yeaahh…tak apalah, namanya juga patriot. Setidaknya aku tak harus ngesot. Kalau bisa sih terbang layaknya seorang pilot. Tak urusan juga meski harus kena semprot. Yg penting terus genjooot.

Satu hal yg kemudian perlu dicatat sebagai pesan paling bontot adalah bahwa aku ingin melewatkan masa ketika daguku ini mulai berjenggot, kulitku jadi kendor dan peot, bahkan pipiku akan jadi kempot, tak mengapa tinggal di gubuk reot, menyeketsa hari2ku bersamamu meski masih dng menggunakan potlot.


ps. Maaf bu, baru bisa segitu aja…itu pun dengan susah lagi payah…nyerah bu lah…

-1 feb 10-

***

Can’t say anything other than OMG bisaaan bangetzh seeh…kepikiran gitu nulis note yg akhirannya –ot. Oke deh kali ini daku mengaku kalah. You are so kereeeennn =)) (tulisannya maksutnya wkwkwkwk)

Sunday, February 07, 2010

For You (teuing saha)

I wrote my words of my heart on the blue sky, but these were taken away by the wind

I wrote my words of my hearts on the beach, but the wave also took these away

So...I wrote my words in the depth in my heart...

And over there my words will be written forever...

Yeah I wanna write these words for you

Do you know what it that words??

The words are how much I Love You, and I just always thinkin’ of You...

***

Saat dia berkata, "Cm skrg..lg cari2 pndmping yg mw diajak ngejalanin semuany..hehe.."

Hmm sempat tercenung beberapa saat sambil berharap, "Ya Tuhan, smg yg dicarinya adalah aku..." (aamiiin...dalam hati)

2/6/2010/ 10:52:22 PM

Monday, February 01, 2010

Satu Ikrar

Tak banyak yg ingin aku ucap padamu. Sebab disana ada beribu malu yg mengganggu dan tak bisa kuusir satu persatu. Belum lagi ragu yg kian membelenggu yg hampir tak berhasil kurayu untuk cepat berlalu. Aku sadar bibirku kelu, kata ini tercekat di paru2. Tapi kemudian aku tersentak seumpama dihantam palu, menyadarkan bahwa waktuku tinggal seujung kuku.


Tolong jangan tertawa dulu, sebab aku tidak sedang melucu. Meski aku tahu kumbang dan kupu2 tengah membuat wajahku merah bersemu, tapi kemudian angin menerpanya dan itu sangat membantu. Oh hei…aku harus cepat menunjukkannya padamu, sebelum habis sisa waktu, sebelum aku berubah jadi labu macam di cerita Cinderela itu.

Tak ada sanggahan bahwa aku belum mampu menghimpun apapun untuk semestamu. Nihil pujian pula sebab nyatanya jalanku pun masih abu2. Aku bukan pangeran berkuda putih dan berjubah biru. Aku juga tak bermaksud membuatmu terharu kemudian menangis tersedu. Sebab aku tahu baru 1 deklarasi yg bisa diterjemahkan oleh benakku, yg tetap hanya ingin aku ikrarkan pada seorang kamu: rindu.

***

Aahh...rasa itu membuatku kian tersudut dalam bias ungu dan temaram lampu...

Sekali Lagi

Sekali lagi Tuhan. Ijinkan aku kembali.

Ragaku tak bisa bergeming barang se-inchi sebab hatiku terperangkap dalam bingkai milik sesosok diri. Meski kusadari benar yg kupunya hanya sepotong mimpi. Dan bekal yg kubawa tinggal separuh nyali. Apakah masih bisa kugenggam pelangi itu tanpa harus ketakutan terlepas lagi??


Aku tahu dia tak sempurna layaknya seorang puteri atau dewi bahkan bidadari. Tapi aku meyakini ia bisa menjelma seperti Khadijah isteri Nabi atau Fathimah isteri Ali.

Aku tahu dia tak memiliki tongkat ajaib seumpama peri. Tapi aku tersihir dengan kemantapan hati dan keberserahan dirinya padaMU, Rabbi.

Aku tahu dia tak punya tahta ibu suri. Tapi aku iri dengan kekayaan bathinnya ketika memandang hidup dan mewarnai hari2. Aku iri dengan caranya melukis mimpi. Aku iri dengan geliatnya menelikung setiap hantaman uji dari kanan dan kiri.

Lalu Tuhan, tak bolehkah aku mengukir namaMU dengan pahatan terindah bersamanya fii dunya wal akhirati??

***

Ketika satu demi satu bagian dirinya perlahan menghilang dalam gumpalan awan...