RSS Feed

Tuesday, October 27, 2009

Gray

I see into myself again. And read my heart deeply for the second time. Over and over again till I got a little bit confuse why I did the same way. It seems like I am looking for something but it still hide and my eyes couldn’t see yet at all. I don’t know how many times I did it in a latest couple weeks for seeing through this strange feeling. Hoping there is something that I can find as a reason for my searching.


And…hei…what is that?? I’m slanting my eyes then, forcing them to accommodating in a high level. Harmonizing it with my frowning brow vertical movement to figure out unidentified that odd thing. It is as if I see that part for the first time. Or it’s possible that the thing have been stayed for a long time I didn’t know. If it was true, how foolish I am. Why this odd sense does seem invisible in my eyes??

Huff…this is beyond me. It’s beyond description. It’s beyond my control.

***

When I saw the gray one in my heart and my mind that I couldn’t know yet what that is. And I am asking to myself then, does any people has the same feeling way too??

*I’m shrugging*

Sunday, October 25, 2009

Wajah2 Dalam Kereta


Saya menyaksikannya sendiri, kalau mau berlebihannya, dengan kedua mata dari kepala saya sendiri, bagaimana keadaan sebagian kecil rakyat di Indonesia Raya tercinta ini. Saya menghela napas, agak panjang, mungkin Pak Presiden harusnya sering2 melawat mereka, melihat keadaan orang-orang yang dipimpinnya, jadi bisa lebih punya gambaran untuk program kerja selama menjabat sehingga benar2 memiliki sasaran dan target yg tepat.

Pun dengan Pak Menteri2 itu, ada baiknya study banding ke tempat-tempat seperti ini. Bukan ke Amerika atau Mesir, bukan dengan pesawat terbang atau limosin, bukan dengan pelayanan mewah dan hotel bintang lima. Mereka harusnya saksikan apa yg saya lihat ini. Wajah-wajah yang diliputi risau dengan kulit-kulit yang kian melegam. Bersama gerobak atau kereta dorong kecil atau kotak-kotak kayu kecil atau bakul-bakul tua mereka merenda waktu yang terasa makin berat dilampaui.

Sambil menyermati polah dan wajah mereka, kemudian saya berpikir, mungkin merekalah pejuang cinta sebenarnya. Yang menyusahkan raga2 rapuh mereka untuk sebuah tawa orang2 terkasih yg menunggu di rumah. Yang memenatkan pikir mereka demi memanjangkan tarikan nafas orang2 tercinta yg menjadi tanggungannya. Betapa tak pernah terlintas untuk hentikan langkah saja, justru sebaliknya mereka tetap bertahan meski kaki2 mereka telah terlumat linu yang sangat. Meski hati2 mereka tengah meluruh di antara keputusasaan yang menderak-derak ruang batinnya untuk berhenti, untuk menyerah pada kenyataan yang tak pernah berpihak.


Ah..hidup. Apa sebenarnya yang dicari? Makna hidupkah? Atau fakta hidup? Makna dan fakta. Dua hal yang yang kadang tak bisa dilihat dari mata yang sama. Perlu mata tambahan –mata ketiga dan keempat, batin dan benak- untuk menyingkap apa yang tersembunyi di balik keduanya.

Saya tersenyum, juga sempat menitikkan airmata, ragu, kesal, aneh, bingung. Tapi kesemua rasa itu menautkan saya pada berbagai perasaan lain. Cinta, rasa syukur, keberuntungan, kedewasaan, dan semangat. Mata saya diperlihatkan, inilah hidup, inilah kehidupan. Ada yang harus berpayah-payah demi secuil kehidupan. Namun di sudut yang lain, ada yg begitu mudah menggenggam kehidupan. Ada yang tersenyum di balik wajah muram. Meski ada yang menangis di balik gelak tawa. Ironis, sungguh ironis. Dan semakin saya menyadari, sekali lagi, bahwa kehidupan memang tersusun atas dua hal yg saling berironi, saling berkebalikan.

Hidup ini memang alur keironisan. Misteri yang dilengkapi intrik. Pantas banyak yang memilih akhiri hidup. Sebab mereka tak temukan kunci dari pintu misteri. Sebab mereka terlalu dini memutuskan bahwa mereka bukan lawan seimbang bergulat dengan hidup. Sebab mereka tak sabaran menanti lonceng dibunyikan dan wasit mengumumkan siapa pemenang atas pergulatan ini.

Hidup itu tidak mudah, seringkali saya mendengar ungkapan itu. Saya mengiyakan, bahkan berkali2 menyebutkannya, tapi bukan karena hidup tidak mudah lantas saya bisa terus2an mengeluh kemudian menyerah. Tidak. Justru sebab ia tidak mudah, maka saya lebih punya banyak peluang untuk belajar menaklukannya sambil tak henti2 beringsut lebih mendekat padaNYA.

***

Stasiun Kota…

Hmmfh…saya bersyukur ketinggalan kereta bisnis hari itu, sebab saya bisa menyaksikan slide2 lain tentang hidup yg membawa saya pada kenyataan yg tak mampu saya ingkari: nikmat2 yg Alloh titipkan untuk hidup saya, yg belum lagi usai saya syukuri, ehh…nikmat yg lainnya sudah datang mengantri. Alhamdulillah…

Catatan lama si Sayah di 28 Desember 2005
Saat roda2 besi kereta ekonomi tujuan Jakarta ini kian berat beradu…

My View


Haha…

Si Aku baru menyadari kalau dia senang dengan caranya memandang waktu yg berjalan bersamanya. Setiap saat dia bisa merasakan perubahan yg terjadi di dalamnya, sebab dia berada di salah satu tepian waktu. Meski terkadang pergerakan waktu sangat cepat untuk disejajarkan dengan langkahnya yg kelewat lambat, tapi si Aku cukup bangga masih bisa bertahan dan konsekuen di jalur yg dia pilih untuk hidupnya.

Kemudian si Aku jadi teringat sebuah…mm…entah pepatah entah kalimat bijak, whatever, katanya, “Hidup itu adalah penjumlahan dari setiap pilihan2 yg kamu ambil.” Iya juga yah, tanpa si Aku sadari hidupnya dihadapkan pada banyak sekali pilihan. Dan cuma dia yg bisa mengendalikan pilihan itu, maksudnya, dia bebas memilih pilihan mana yg akan jadi bagian hidup si Aku selanjutnya.


si Aku tak mengelak jika di detik pertama kemunculannya orangtuanya yg berperan besar memilihkan pilihan itu untuknya, sampai akhirnya si Aku benar2 bisa memilihnya sendiri. Sejauh ini si Aku bersyukur dengan sikap bapak-ibu-nya yg –mencoba- tak ikut campur dalam pengambilan keputusan untuk keberlangsungan hidup si Aku, tapi bukan berarti si Aku tak meminta pendapat keduanya lho.

Lalu si Aku berpikir, hidup itu mengenai pilihan –yg didukung juga oleh kesempatan tentu- dan setiap pilihan yg dihadapkan pada wajah seseorang boleh jadi sama, sebab dalam jalan hhidup seseorang dgn orang yg lain bisa jadi memiliki satu atau lebih titik pertemuan yg sama, bedanya mungkin ketika memilih pilihan2 itu.

Hmmffhh…ketika si Aku melihat kembali jalan2 yg telah disusurinya hingga membawanya pada masa yg sekarang, dia jadi sangat2 bersyukur bisa menjadi dirinya. Meski mungkin dalam perjalanannya banyak kerikikil2 dan tikungan2 tajam yg membuat lajunya melambat, si Aku untungnya masih bisa bertahan. Tapi bukan semata atas kekuatannya.

Da si Aku mah just an ordinary people ajah kok…Tapi, atas bantuan Tuhannya yg tak pernah bosan memberinya petunjuk2, atas perhatian bpk-ibu-nya yg tak lelah menyertakan namanya dalam setiap sujud, atas dukungan sahabat2nya yg selalu bisa mengembalikan semangatnya ketika hidup sedang menggempurnya jatuh, atas semua pihak yg hingga detik ini masih mengingat adanya keberadaan si Aku…semuanya saya syukuri Alhamdulillah, Alhamdulillahi jazaakumullohu khoiro…

Be there for me Alloh, mom-dad, guys…
I realize then, that I’m a lucky person in this world…^^

Saturday, October 24, 2009

Rasa Itu Bernama T A K U T


Takut…

Dalam keheningan saya mengulangi kata itu. Hmm…Entah apa itu ‘takut’ sebenarnya. Saya pikir setiap orang pernah merasakannya, entah itu sekali, berkali-kali, atau sering kali. Saya juga meyakini masing2 makhluk pasti Tuhan titipkan padanya rasa takut, dan masing2 makhluk merasakan takut dgn caranya sendiri.

Yg sehat takut sakit. Yg sakit takut meninggal. Yg lajang takut nggak menikah. Yg menikah takut nggak bisa punya keturunan. Yg punya keturunan takut nggak bisa menghidupi. Yg sekolah takut nggak lulus. Yg lulus takut nggak bisa kerja. Yg kerja takut dipecat. Yg jalan kaki takut ketabrak. Yg naik kendaraan darat takut tabrakan. Yg ada di laut takut tenggelam. Yg ada di udara takut jatuh atau nabrak gunung.


Hmfh…dunia Nampak sudah nggak aman…Ternyata banyak sekali rasa takut yg dialami manusia itu ya??


Tapi kemudian saya berbicara pada diri saya sendiri, rasa takut itu wajar, sebab wajar maka manusiawi. Nggak dibilang aneh kok kalau pernah atau bahkan sering mengalami takut. Knp coba?? Iyahlah, sebab rasa itu salah satu cobaan yg Alloh kasih untuk setiap makhlukNYA. Sebagai jalan pendekat dgn DiriNYA jika saja manusia menyadari lebih dalam.

Alloh mencoba manusia dgn sedikit rasa takut, rasa lapar, rasa melarat, dsb. Tujuannya yg nggak lain dan nggak bukan adalah untuk mengingatkan manusia, kalau ada Alloh dibalik setiap perkara dunia dan seisinya ini. Kalau ada Alloh tempat manusia mengadu apapun keluh kesahnya. Kalau ada Alloh tempatnya setiap khauf & roja’ (takut&harap). Kalau ada Alloh, Dzat Yg Tidak Pernah Terlelap untuk Meneliti dan Mencermati setiap perilaku setiap makhlukNYA, dari yg paling besar di mata manusia (seperti jagad raya ini) sampai yg paling kecil (kuman2 atau makhluk bersel satu yg hanya bisa dilihat dgn mikroskop canggih).

Dan berkali2 saya mengingatkan lagi pada diri sendiri, jika rasa takut itu sedang menghantui hati, jiwa, raga, dan pikiran, jangan takut, krn ada Alloh. Alloh yg harusnya jadi pelabuhan hati ketika takut.

Rumusnya, ketika takut, serahkan setiap ketakutan itu pada Sang Pemberi Rasa Takut, Alloh. Karena hanya dengan mengingat Alloh saja hati menjadi tenang. Jangan sampai rasa takut itu jadi berhala yg bisa menggeser posisi Alloh di hati kita. Jangan takut, sebab Alloh pasti tidak akan lepas tangan dengan diri kita, setelah kita sempurnakan ikhtiar, menggenapkannya dengan doa, dan menyerahkan setiap akhir hanya pada Sang Akhir.

Jangan takut yaa, saya…

***

Ketika rasa takut mulai terasa akut…
(Al Baqarah 155)

Friday, October 23, 2009

Short Note


Tak bisa disangkal bahwa hidup kita dilombakan dgn waktu. Sangat tidak mungkin bisa menghindar dari pergerakannya. Siapa yg terlena akan tertinggal, siapa yg bergerak lincah melintasi jaring2 waktu akan bisa selamat dari jebakan waktu yg tampak samar. Maka sikap yg paling bijak adalah mewaspadai gerak gerik waktu sambil menyusun strategi agar tak kalah dan bisa selangkah lebih maju.


Perlawanan waktu hanya bisa ditarung melalui kadar iman. Sebab hanya seseorang yang punya genggaman erat terhadap kefahamannya saja yang akan mampu bertahan di segala ruang kehidupan, baik sempit atau lapang, di setiap kondisi jalanan hidup, baik yang rata atau berbatu. Ini akan jadi satu bukti tak terbantahkan bahwa segala sesuatu yang semu tak bisa jadi indikator penentu kemenangan.

Maka pilihannya bukanlah kalah atau menang, tapi menang atau belajar. Sebab dengan demikian kita tidak akan pernah merasa gagal. So saya mengingatkan pada si Aku…tetaplah waspada pada jalan yg sedang disusuri, lihat kiri kanan atau belakang jika perlu, hati2 dgn setiap tanda dan rambu2, agar sampai dengan selamat di tempat yg dituju.

***

catatan kecil ketika menyusuri jalan berkerikil...

Wednesday, October 21, 2009

Ahad, 18 Okto

Ahad, 18 okto, 8.34 am waktu Surabaya, di sela2 mengetik tugas sambil ditemani suara Daniel Bedingfield dengan If you’re not the one-nya…

Sejenak focus pikiran saya bergeser dari tugas yang belum selesai diketik ke sebuah pikiran tentang seseorang yang sosoknya benar2 sudah mencuri perhatian hati dan pikiran saya. Hahaha…saya tertawa di kesendirian saya. Kemudian saya jadi berpikir kenapa tiba2 saya ingin menuliskan apa yang saya rasakan ini sekarang, di saat yang menurut saya tidak tepat (soale banyaakk bgt tugas yang butuh priorotas utama untuk dipikirkan), ah…apa mungkin ini efek dari lagu si Daniel ya??


Whatever the reason, yang jelas jendela microsoft word saya sudah berganti judul, yang tadinya ‘kajian pustaka tentang motivasi’ ke ‘ahad 18 okto’ (judul tulisan ini).
Kalau dipikir2, permasalahan manusia yang satu ini ga pernah ga menarik buat dibahas ya. CINTA, hihihi…nyebutin namanya aja serasa banyak kupu2 yg beterbangan di sekeliling saya nih (itu mah kalo yg lagi ngerasain jatuh cinta, coba yg lagi patah hati, yg ada juga bikin illfeel ngedenger kata cinta ini). Yeaah…apapun kondisinya tetep lho cinta punya daya magis yg luar binasa. Bisa bikin org jadi berkebalikan dari sebelumnya. Yg lemah jadi kuat, yg kurang pinter jadi pinter, yg males jadi rajin dsb.

Percaya ga siy dampak cinta bisa sehebat itu?? Hehe…tadinya juga saya tergolong org yg skeptik lho sama persepsi macam itu. Belakangan agak percaya, tapi lebih pada kemampuan manusia yg emang punya potensi untuk jadi luar biasa kalo memang mau dioptimalkan, bukan pada mitos love’s effect, yaa…boleh jadi siy si cinta itu yg bikin pemicu seseorang lebih mengoptimalkan kemampuan yg selama ini belum diketahuinya. Atau bisa juga yg kuat makin kuat, yg pinter makin pinter, yg rajin makin rajin. Wahh…dahsyat bgt ya si cinta jadi pemicu teh…ck…ck…ck…

Kalo lagi jatuh cinta…katanya mah semua terasa indah. Waktu2 yg dijalani sepertinya penuh gairah. Jarang banget ngerasain yg namanya jengah. Yang ada pokoknya cuma yg indah2. Iyah gitu?? Hehe…iyah meureun…(hayoo sayah, ngaku kamu!!) Nah kalo lagi patah hati alias broken heart, lain lagi. Apa iya cinta masih bisa dianggap sesuatu yg indah?? Kayanya mah nggak deh!! Yg ada juga pengen dilupain…(haha ada yg curhat neeh…)

Tapi yaa…namanya juga org hidup, ga seru kali kalo ga pernah ngerasain up and down di aspek percintaan. Serasa hidupnya kurang pas gitu lho. Pinter2 kita aja menghadapi dan menanggapi soal cinta ini. Kalo sedang merasakan jatuh cinta, ya syukuri, terlepas cintanya nanti dapat respon balik atau ga. Sebaliknya, jika tengah patah hati sbg dampak tidak diresponnya perasaan kita dgn hal yg sama, ya harus disyukuri juga. Sebab bisa jadi itu cara Alloh kasih tanda bahwa bukan org itu lho yg AKU peruntukkan buat kamu.

Yaa…intinya syukuri semua rasa yg Alloh berikan cicip buat kita. Yakini kalo yg terbaik itu pasti datang tepat pada waktunya, di saat yg paliiing baik juga. Ga percaya?? Makanya tungguin aja ya…hehe

***

p.s. si Sayah jadi geleng2 kepala, ga ngerti apa yg barusan ditulis…kayanya siy emang efek lagu, lagunya beres ehh…nulisnya juga udahan, padahal belum nemuin inti tulisannya apa…hahaha jadi weeh hoyong seuri si Sayah teh…=))

3 M Story...-Mas-->Me-->Mbak-

Me: Mau yang kaya gimana sih, Mas??

Mas: Hmm…yang cantik, putih, tinggi, pintar, dari keluarga baik2 dan tentunya sholihah…

Me: (dengan sangat kaget sekali) Hah?? Yakin sama kriteria itu??

Mas: (menanggapi dengan naïf) Lho, knp Mas mesti ngerasa ga yakin??

Me: (speechless then) …&%$)%#@^*??

***

Weewh banyak amat ya kriterianya, ga salah si Mas tuh?? Pantesan aja umur segitu belum merit, lagian maunya yg high quality seeh. “Yee…umur 27 mah masih oke2 aja kali buat lelaki kalo belum nikah, lagian nyari mapan juga kok," gitu jawabnya si Mas kalo si Me nyeplos kalimat di atas itu.

“Lagian wajar kan ingin dpt yg terbaik??” si Mas keukeuh sama maunya itu. Si Me dalam hati cuma bisa bilang, “Iya, tapi yg terbaik kan ga harus yg cantik, putih, tinggi…bla…bla…sholehah pula...” huff…

“Kalo gitu Mas ga bisa nikah sama satu perempuan!!” akhirnya yg keluar dari mulut si Me malah itu. Si Mas melongo, seolah bilang, “Maksudnya??”

“Soalnya yg Mas mau itu banyak, dan yg banyak itu ga bisa hanya dari satu org!!” si Me agak sewot ogeh. Gawat kan kalo si Me suruh nyariin kriteria2 itu di satu wanita.


Kemudian si Me jadi mikir, knp sih masih aja ada org (mau lelaki kek, perempuan kek, termasuk si Mas itu) yg lebih ngutamain sisi fisik -yg dia sendiri nyadar kalo itu bersifat semu- ketimbang sisi lain yg ga keliatan tapi punya dampak yg berkepanjangan. Yg ga sopannya, kalo udah minta yg macem2 terus ditutup sama “…yg sholehah pasti.” Knp kriteria sholehah jadi yg paling akhir??


“Nabi juga menyebutkan kriteria sholehah di akhir kok!!” si Mas pernah jawab kaya gitu waktu si Me tanya. Tanpa basa-basi si Me pukul aja kepala si Mas pake bantal, biar kepalanya jernih lagi. Meskipun si Me tahu si Mas cuma nge-joke doang, tapi sungguh itu ga lucu banget. Malah bikin persepsi kalo si Mas bukan org yg faham agama. Pliis deh Mas udah ngaji brp taun seeh??

“Emang org faham ga mau yg cantik??” iihh…jadi gareretek hoyong menganiaya si Mas. Gitu tah kalo hadist dipake mainan, cuma diambil sepotong2 aja, yg dirasa menguntungkan itu yg dipake, tanpa mengindahkan kalimat sebelum atau sesudahnya.

“Kalo Mas mau selamat pilih yg baik agamanya!!” si Me mengingatkan kalimat lanjutan hadist mengenai kriteria wanita untuk dinikah menurut Rasululloh. Yg diingetin cuma mesem2.

***


Si Me kemudian jadi kepikiran pernyataan si Mas di awal tadi, “Wajar kan ingin dpt yg terbaik??” Iya siy, wajar bgt, siapa juga pasti maulah dikasih yg terbaik. Tapi yg terbaik itu ga melulu soal fisik kali, meskipun ga bisa dipungkiri punya penampilan luar yg baik memang perlu. Cuma rasanya ga bijak aja ya kalo seseorang pengen yg terbaik buat pendamping hidupnya tapi dia ga berusaha membaikkan dirinya sendiri.Padahal Alloh tuh udah ngejanjiin kan kalo wanita yg baik buat lelaki yg baik, wanita penzina/jelek ya buat lelaki yg demikian pula. Ato lebih singkatnya, pendamping hidup seseorang itu cerminan dirinya sendiri. Kalo faham ya cerminnya juga faham.

Kadang manusia tuh suka lupa kalo sesuatu yg semu itu bisa menipu dan akan rusak pula dimakan waktu. Terus sering lupa juga kalo hanya ke-sholehah-an seorang wanitalah yg bisa diandalkan dan bisa dijadikan teman dalam setiap fase kehidupan, baik fase yg membahagiakan atau kebalikannya, kesedihan.

Sebab ke-sholehah-annya itu yg jadi indikator kedekatan dan keberserahan dirinya pada Alloh. Sebab ke-sholehah-annya itu juga yg bisa membuat seorang wanita memiliki kemantapan cara pandang, yakni mengorientasikan setiap segi kehidupannya pada mencari wajah Alloh (Mardlotillah Oriented).


Jadi…sah2 aja pengen yg terbaik, manusiawi, tapi yg jelas ga manusiawi adalah ketika ingin yg lebih tapi ga berusaha melebihkan diri. Satu lagi, ke-sholehah-an itu ga selalu berbanding lurus sama penampilan luar yg semu lho…

***

Singkat cerita, si Mas ketemu sama perempuan yg cocok bgt sama kriterianya. Cantiklah pokonya mah. Kemudian berkesempatan silaturahim kerumah si Mbak itu. Bla…bla…beres, terus si Mas dan Me pulang diantar sama si Mbak ke depan pintu gerbang.

Tiba2…bruuggg!! Poster besar calon2 legislatif yg dipasang pake kayu2 besar di pinggir jalan rumah si Mbak ambruk dan menimbulkan bunyi yg cukup keras.

Mbak: eh…eh…kopret…copot…ma peot kaserepet…(latah)

Mas_Me: (berpandang2an)

Hah??!! Si Mbak latah…si Me bisa langsung menangkap raut pucat wajah si Mas. Lalu ada sebuah cekikikan yg sebenarnya ingin dilampiaskan si Me, tapi ga tega liat kondisi si Mas.

Lalu beberapa waktu setelah itu...

Me: Cantik aja ga jadi jaminan kan, Mas??

Mas: (mengangguk) He em…

Me: Jadi sekarang kriterianya gmn?? (si Me nanya kaya gitu teh berharap si Mas menyadari bahwa kesempurnaan fisik belum tentu perfect segala2)

Mas: Masih sama…tapi ga pake latah…

Me: Gubrraaakkk!!!

***

p.s. buat si Mas, sorry tak tulis pengalaman itu, biar jadi pelajaran buat yg lain juga...xixixi
teruuuss geura get merit atuh tong betah2 jadi dokter jomblo...wkwkwkw

Tuesday, October 20, 2009

B E R A N I



Saya menyadari bahwa menjadi anak-anak adalah fase hidup. Tetapi saya harus jauh lebih memahami bahwa menjadi dewasa adalah keberanian. Maka berani dewasa bukan urusan usia –meski ia punya andil- tapi ini soal sikap, soal memilih kadar yang mana dari kebahagiaan yang bertingkat-tingkat.

Berani dewasa adalah pilihan hidup yang tidak sederhana. Ini bukan semata soal bertambahnya usia. Tapi berani dewasa adalah keputusan sikap, sudut pandang, pikiran, dan tindakan yang benar-benar didasarkan pada kesadaran penuh. Menurut saya kuncinya ada pada kematangan, kekuatan pijakan, tujuan akhir yang seterang matahari di puncak siang. Tentu ruh dasar dan pondasinya jelas-jelas iman. Tetapi proses berani dewasa adalah:

situasi demi situasi yang kita bangun dari rangkaian sikap demi sikap. Yang kita pupuk dengan ketulusan demi ketulusan. Yang kita rajut dari tabungan demi tabungan hikmah dan renungan jiwa kita.


Adakah tujuan akhir yang lebih akhir dari kampung akhirat?? Adakah orang yang lebih kaya dari orang yang ridlo dengan makanannya hari ini?? Berani dewasa adalah berani memutuskan bahwa tujuan hidupnya adalah yang jauh di akhirat sana.

Berani dewasa adalah keputusan jiwa yang sangat tidak sederhana. Sebab ia seringkali berada dalam situasi lahiriyah yang sangat kontras.


Saya kanak-kanak, misalnya, tapi saya harus tumbuh dengan kemengertian yang maju. Saya miskin, misalnya, tapi saya harus menuntun hati dan menekan kehendak-kehendak kemewahan yang tak sampai. Saya kaya raya, misalnya, tapi saya harus memerangi keangkuhan dan naluri semena-mena. Saya punya keterbatasan, misalnya, tapi saya harus berjuang dan menggerakkan segala upaa agar menjdi sesuatu. Saya pintar dan bergelar, misalnya, tapi saya harus arif dan terus meyakini bahwa di atas yang bisa, masih ada yang lebih bisa.

Begitulah kedewasaan mengairi takdir-takdir jalan hidup kita dengan kejelasan arah, kejernihan sudut pandang, tetapi dengan vitalitas yang terus menyala.

Berani hidup harus berani dewasa. Hidup ini memang tidak mudah, tetapi alangkah tidak mudahnya hidup tanpa keberanian menjadi dewasa. Bahwa fase demi fase adalah kepastian. Setiap usia punya jenjangnya, situasinya, sulit dan mudahnya. Tapi keberanian menjadi dewasa adalah keniscayaan yang dengannya kita bisa melalui segala fase itu, kita kejar cita-cita akhir kita, di puncak pengharapan ridlo Alloh semata.


***

p.s. keisengan si Sayah ketika melihat 2 pasang anak dan ayah dalam kondisi yg kontradiktif…sepasang dalam mobil mewah, sepasang sedang menyortir sampah…what a life…

Monday, October 19, 2009

Yang Tak Terdefinisi


Rabb…
Peliharalah ia
Dengan bentangan angin Surga
Dan nyanyi bidadari
Sebab...
Tak cukup cintaku
Merengkuh keindahannya

***

p.s. untuk sesuatu yg entah apa atau siapa dan dimana...si Aku bilang sama Tuhannya smg si Aku dikasih kesabaran menanti sesuatu yg masih tak terdefinisi itu...

Sunday, October 18, 2009

Being a Teacher Itu...


Menjadi guru itu…ternyata ga mudah ya??

Itu gumaman saya ketika mendengar penjelasan seorang dosen tentang bagaimana sebuah konsep diajarkan pada murid. Kemudian saya asik dengan pikiran saya sendiri mengenai tema ‘GURU’ ini. Jadi guru memang ga mudah, tapi bukan berarti ga bisa dijelajah.

Jadi guru itu harus tahan menghadapi dilema. Nilai murid yg di bawah KKM meski sudah berkali2 remedial tetaaapp aja masih rendah, kalo ga dinaikkin kasian, kalo dinaikkin nanti terseret2 belajarnya. Belum saat UAN tiba, di satu sisi ingin membuat muridnya mandiri dan bersikap jujur dgn menjawab sendiri, tapi di sisi lain kalo ga dibantu kemungkinan nilainya di bawah rata2 bahkan bisa ga lulus. Belum lagi ketika menyampaikan konsep yang keliru di kelas, itu bisa berakibat fatal buat kelangsungan pembelajaran mereka di jenjang berikutnya. Atau ketika murid2 ga ngerti2 materi yg disampaikan. Pasti guru bertanya2, masalahnya dimana, pada dirinyakah yg tidak bisa menyampaikan dng baik, atau pada siswanyakah yg kemampuannya mungkin berbeda, atau apa??


Ga salah kemudian banyak edukator2 yg terus mencari inovasi2 pembelajaran baru, pendekatan, strategi, metode, model, dan lain2, apapun namanya itu tujuannya ga bukan dan ga lain adalah untuk membuat belajar bermakna buat murid2 sehingga memudahkan mereka untuk paham tidak hanya secara sistematik penyelesaian tapi lebih pada nalar yg berjalan.

Namun, ketika dihadapkan pada tuntutan kurikulum, hari efektif belajar yg banyak kepotong libur, kemampuan anak2 yg kadang harus dipaksa berlari, tiba2 semua yg disebutkan di atas tadi menjadi tampak samar, kalo kata sebagian guru2 senior ‘bullshit’. Otomatis keadaan macam itu ga bisa bikin hidup guru jadi tenang, bahkan kadang nafas2nya juga tersengal2 sebab berlomba dgn waktu yg minim sementara materi dan tujuan pembelajaran harus tuntas…tas…tas…

Lalu yg selalu harus bisa dilakukan guru sebagai tindakan nyata di kelas adalah membuat suasana belajar yg nyaman, sebisa mungkin anak2 fun belajar sama kita, terlepas metode apa yg kita gunakan, bahkan keseringannya metode campur sari. Satu hal yg perlu disadari adalah bahwa kita menghadapi benda hidup di kelas, jadi ya perlakukan mereka layaknya benda hidup, perlu hati dan tidak melulu soal logika.

Sabar, kemudian tidak mudah menyerah memotivasi murid2, saya pikir menjadi sikap mutlak yg harus dimiliki seorang guru, even yg kita hadapi the naughtiest children, we have to be ready. Sebab ilmu itu ga akan bisa dicerna siswa dari hati yg tidak ramah.

So…I say to u guys that being a teacher is a gift, yang keberadaannya patut dan harus sangat disyukuri. Even for some people out there, being a teacher is not a best work in the world. Tapi yang perlu kita sadari adalah bahwa kebanggaan itu terkadang ga bisa diraih dari sehebat apa pekerjaan kita, tapi lebih pada sehebat apa kita bisa mengerjakannya. Jadi penekanannya bukan pada jenis pekerjaannya tapi pada usaha untuk berbuat yang terbaik dalam menjalaninya.

So guys, ga usah ngerasa minder kalo kita cuma bisa jadi guru. Jadi guru itu bukan CUMA lagi. Jadi guru itu anugerah, pekerjaan yang paaaling hebbat, sebab ada pahala dan ancaman yang hebat pula ketika kita memutuskan jadi seorang guru. Gimana ga hebat coba, ketika kita bisa bikin anak orang jadi ngerti dan paham sama materi yang sama2 kita -guru dan murid- bangun di kelas?? Lalu mereka bisa mengaplikasikannya di dunia nyata-nya mereka. Lebih jauhnya kita bisa jadi salah satu pihak yg menyampaikan murid2 kita ke kesuksesannya. Kereeennn kaaannn??

Belakangan saya jadi sangat bersyukur ditunjukkan jalan ke jalur ini. Karena jadi guru itu mengotomatiskan saya jadi seorang pembelajar seumur hidup saya. Long life education. Ga hanya belajar tentang pengetahuan yang terus berkembang dan harus bisa saya sampaikan pada murid2 saya, tetapi juga belajar tentang ilmu lain: bagaimana kedewasaan dibentuk, bagaimana kesabaran dibangun, bagaimana kerendah hatian ditanamkan, bagaimana menyinergikan logika dan perasaan, aahhh…banyaaakk deh…yg semuanya itu tanpa saya sadari berdampak sangat positif buat kehidupan pribadi saya.

Jadi guru juga bisa dijadikan ajang ketawadluan dan membuka diri pada kemampuan orang lain, dalam hal ini murid2 saya. Saya harus bisa menerima, bahkan senang, ketika saya bisa belajar banyak juga dari mereka. Sebab boleh jadi ide2 baru muncul dari pikiran mereka. Akhirnya yang belajar ga hanya muridnya tapi saya juga sebagai gurunya. It’s really fun when I knew that I can learn a lot from them. I’m so grateful then.
Jangan sedih juga kalo balasan di dunia (baca: gaji –red) atas pekerjaan menjadi seorang guru masih minim. Sebab kita punya balasan yang lebbbiiihh besaarr yang sudah Tuhan simpan buat kita di tabungan amal. Insya Alloh nilainya berkali2 lipat ketimbang balasan di dunia. Yeah…eventhough kita ga bisa mengingkari kalo hidup kita di dunia butuh materi, tapi we have to realize juga bahwa materi bisa jadi tanpa arti kalo kita ga bijak menggunakannya.

So ibu2…bapak2…tetap semangat yaa mencerdaskan anak bangsa, memajukan pemilik masa depan Indonesia…semangaaattt!!

***

p.s. catatan si Sayah di sela2 matkul psychology of math education…jadi rindu bikin kegaduhan di kelas euy!!

Saturday, October 17, 2009

Biasa-biasa Saja...

-First-

Ia lahir dgn biasa2 saja. Kemudian masa kecilnya dihabiskan dng hal2 yg biasa2 saja. Menginjak remaja, alur hidupnya pun tak berubah, biasa2 saja. Mulai dari ucapannya yg biasa2 saja, pemikiran yg biasa2 saja, aktivitasnya yg juga biasa2 saja, hubungan dgn orang2 di sekitarnya pun biasa2 saja. Ya, semuanya biasa2 saja. Dan hal itu berlanjut hingga ia mulai dipandang dewasa baik oleh dirinya sendiri maupun orang lain di luar dirinya. Ia masih menjadi yg biasa2 saja.

Tak ada yg istimewa yg bisa dibanggakan, karena ia biasa2 saja. Sekolah di tempat yg biasa2 saja dng prestasi yg biasa2 saja. Kegiatan kemahasiswaan yg ia ikuti pun biasa2 saja. Dan kalaupun ia tergabung dalam kegiatan yg ‘wah’ maka ia tetap menjelma menjadi sosok yg biasa2 saja. Totalitas dan loyalitas yg ia keluarkan demi suksesnya kegiatan pun biasa2 saja.

Dan kemudian dia pun lulus dari studinya dgn gelar sarjana yg biasa2 saja. Selang beberapa waktu ia memperoleh pekerjaan yg juga biasa2 saja. Akhirnya menikah. Singkat cerita, setelah ia punya anak, punya cucu, kemudian tua. Dan akhirnya meninggal dunia.

-Done-


Kisah singkat dari seseorg yg biasa2 saja. Seseorg yg menghabiskan usianya dgn biasa2 saja. Tak ada gebrakan yg membuat hidupnya menjadi ‘lebih’ dari biasa2 saja. Sementara dgn yg ‘lebih’ itu, hidupnya mungkin akan terasa makin berwarna. Kehadirannya mungkin akan semakin membawa manfaat, tidak hanya utk dirinya tapi juga utk orang lain.

Menjadi ‘lebih’ dari biasa2 saja bukan bermaksud utk memperlihatkan kekuatan diri sehingga menjadikannya sombong. Bukan itu. Tapi lebih kepada pengoptimalan usaha diri utk mengembangkan potensi yg dimiliki. Sebab kebanyakan masih tak menyadari, bahwa setiap manusia dilengkapi dng potensi diri yg sama, boleh jadi punya peluang yg sama meraih sukses meski dengan jalan yg berbeda. Sebab mayoritas masih meragu bahwa apa2 yg ada dalam dirinya adalah ‘lebih’ dari biasa2 saja.

Saya berkali2 mengingatkan si Aku, bahwa sesungguhnya yg membedakan seseorg yg biasa2 saja dng org yg ‘lebih’ dari biasa2 saja itu terletak pada pengupayaannya. Pada setiap titik ikhtiar yg dilewati. Pada setiap keteguhan mental yg dimiliki. Pada setiap doa yg terpanjat tak henti2. Kita harus percaya bahwa kita bisa ‘lebih’ dari biasa2 saja. Bahwa kita mampu melakukan sswt yg ‘lebih’ dari biasa2 saja. Bahwa setiap yg ‘lebih’ dari biasa2 saja itu akan mendatangkan manfaat yg juga lebih dari biasa2.

Masih terlalu dini utk puas terhadap potensi diri yg mungkin baru sepersekian persen kita ketahui. Karena masih begitu banyak sisi gelap diri yg belum kita terangi. Masih banyak kelebihan2 diri yg belum selesai digali. Jangan sampai sisi gelap yg belum terterangi dan kelebihan2 diri yg belum selesai tergali itu menjadi bom waktu yg dapat meluluhlantakkan apa2 yg sudah dijalani. Atau malah jadi boomerang bagi diri sebab ketidaktahuan di bagian mana ia bisa berekspresi mngembangkan diri.

Menjadi sunatulloh jika segala sesuatu yg Alloh ciptakan selalu dua berkebalikan. Siang-malam, tinggi-rendah, suka-duka, kuat-lemah, mudah-sulit, dan lain2. Yang masing2 keduanya ada untuk saling menopang satu sama lain, bukan malah menjatuhkan dan membuatnya tak berkembang. Pada akhirnya semua hal2 yg berkebalikan itu mengantarkan lisan pada satu kata: bersyukur. Memuarakan setiap langkah pada satu tekad: mardlotillah (mencari wajah Alloh).

Adanya kelemahan harus disyukuri, sebab itu yg membuat kita sempurna jadi manusia. Tapi tak selesai sampai disitu. Kita ga bisa menjadikan kelemahan sebagai kunci bermalas2an dan ga mau berusaha, itu picik namanya. Pun ketika kita memperlakukan kekuatan yg kita miliki, syukuri. Sebab dgn itu kita bisa berbuat lebih banyak yg berarti, ga hanya buat diri tapi juga buat orang2 tercinta di sekitar kita. Ga masalah meski kita hanya bisa melakukannya dalam skala kecil. Ukuran itu bisa jadi relative, yg lebih utama adalah kebermaknaan yg bisa kita ambil dalam menjalaninya.

Jangan berorientasi pada kelemahan dan kekurangan yg ada pada diri hingga akhirnya membawa kita pada ketidakpercayaan bahwa kita mampu lakukan yg lebih. Jangan terpaku pada semua cela dan khilaf yg telah dilakukan diri hingga akhirnya menyeret langkah pada keputusasaan, sementara pintu tobat belum kita sentuh dan kita hampiri sama sekali.

Akhirnya, janganlah jadi manusia yg hanya biasa2 saja, dng ucapan yg biasa2 saja, dng pemikiran yg biasa2 saja, dng apa2 dalam hidup yg biasa2 saja. Sementara dng yg ‘lebih’ dari biasa2 saja, kita mampu melihat siapa diri kita sebenarnya, sehingga keberadaan kita benar2 membawa manfaat. Sehingga keberadaan kita menjadi problem solver atau peace maker atau apalah. Dan bukan menjadi trouble maker.

Janganlah jadi hamba yg biasa2 saja, amalan wajib yg dilakukan secara biasa2 saja, sunnah yg biasa2 saja, dan kegiatan2 ibadah yg biasa2 saja. Sementara dng yg ‘lebih’ dari biasa2 saja, kita bisa selangkah lebih dekat denganNYA, kita bisa pertebal kantong perbekalan amal kita menuju alam yg lebih kekal nanti. Sehingga kita bisa menjadi hamba yg dinaungiNYA dng cinta yg ‘lebih’ dari biasa2.

Allahua’lam

p.s. si Aku menebar asa, smg bisa jadi lebih dari yg biasa2...^^

Langkah yg Gagah


Alhamdulillah Tuhan atas sepasang langkah yang masih bisa kupakai untuk berpijak ini. Meski kadang harus runtuh sesaat sebelum bangkit kembali. Meski kadang bertekuk lutut pada garis takdir sesekali. Meski sempat berpikir untuk mundur sesenti bahkan berinchi-inchi karena merasa gagal menciptakan kondisi yang diingini. Tapi kemudian otakku berpikir, kenapa harus memilih berhenti jika masih ada celah untuk bisa jalan lagi?? Haruskah mengibarkan panji putih sedini ini??

Lalu apa?? Berbalik arah lagikah?? Menuju jalan utama sebelum berbelok ke arah yang ini, iyah?? Huff…Jarak yang telah kutempuh rasanya sudah cukup jauh untuk mengalah. Meski pada akhirnya mungkin umm…yeah…aku harus menyerah. Tapi…aaarrrggghh…benarkah aku sudah kalah?? Iyakah krn belum bisa mewujudkan obsesi 1 atau 2 mimpi lantas aku layak dikatakan kalah?? Lalu apa yang sedang aku susuri sekarang, menuju jalan kesalahankah?? (iiihhh…ya enggaklah)


Oh…tidak…tidak…Tuhan kumohon lenyapkan persangkaan itu dari benakku. Sebab bagaimanapun aku masih setia menyelipkan berbait2 doa untuk kesuksesanku, keterwujudan setiap mimpi2ku, dunia akhirat, terlepas dari jenis jalan -berbatukah, landaikah, atau apapun- yang kususuri hingga kini.

Lalu, aku berhati2 bertanya, masihkah ada peluang kesempatan2 –yang sudah pergi- itu kembali menyapa dan bilang, “heeiii…kamu!! Masih mau aku ga??” Bisa dipastikan aku langsung mengangguk senang, ga butuh waktu lama mengambil keputusan, khawatir peluang itu berubah pikiran.

Hahaha…kemudian aku tertawa, gamang. Sebagai langkah defensive maksudnya, tapi kemudian malah menjadi aggressive, “kemungkinannya tak lebih dari 1%!”, batinku berteriak. Sangat kontradiktif. Seketika aku seperti terlempar dari gumpalan ketidaksadaranku. Oh…ternyata aku harus kembali ke kenyataanku sekarang. Bahwa kesempatan yang tidak hanya 1 itu sudah demikian jauh dan tak mampu kusentuh. Bahkan kembali memimpikannya pun aku tak yakin bisa kembali utuh.

Hmmffhh...mungkin…aku perlu sedikit udara untuk menarik nafas panjang. Hingga pada akhirnya aku menemukan fakta bahwa diriku sudah cukup berusaha. Dan meyakini semua yang kuperjuangakan tidak akan berakhir sia-sia. Rasanya tidak adil memperlakukan diriku semena2 hanya karena takdir belum memihak padanya mewujudkan salah satu atau salah dua asa.

Mengutip pernyataan Ikal, “takdir akan memihak pada sang pemberani.”
Maka aku memutuskan, tidak ada lagi pilihan untukku selain menjadi pemberani. Huff…sekarang saatnya mendamaikan hati dan menyinergikannya dengan logika. Aku mengatakan pada diriku sendiri, tidak perlu harus merasa bahagia dulu untuk menjadi bersyukur. Sebab ketika bisa bersyukur di saat sulit itulah yang memperlihatkan kadar keimanan kita yang sesungguhnya.

Note Tentang Award



Aarrggghh…

Kenapa ya peran protagonist selalu teraniaya, selalu muncul dengan tipe yang sama?? Kenapa tokoh kategori ini ga pernah –sebentar saja- merasa bebas dari penindasan?? Pasti nangis lagi nangis lagi. Apalagi kalau melihat sinetron sebuah negeri (saya ga bilang Indonesia lho ya…)

Huh…ini membuat pikiran saya ga bisa menjauh dari pandangan minus kehidupan: yang kuat (lawan protagonist: antagonis, -red) –cenderung bahkan kebanyakan- akan berada pada jalur utama.

Tapi…bukankah itu sebuah keniscayaan ya?? Pihak dengan kekuatan yang mumpuni cenderung berada di rating tertinggi. Saya pikir, itu bisa saja terjadi bukan sebagai cela kehidupan, tapi implikasi logis yang harus diterima: yang berkuasa yang kuat. Lalu fakta mana lagi yang bisa mematahkannya??

(berpikir sejenak) hmm…ga ada!!

(berkata dalam diam, hampir seperti sebuah bisikan) Tapi kekhawatiran macam itu sebenarnya tak harus muncul kan. Toh pada akhir cerita, protagonist yang selalu menyandang predikat juara. Entah melalui plot yang masuk logika atau ga sama sekali bahkan terkesan memaksa.


Pangeran berkuda putih, atau berkuda besi, atau apalah yg intinya sosok hero, sudah dipersiapkan dari awal scenario. Dia sudah berada disana sejak since pertama diputar. Hanya saja sosoknya masih menjadi bahan praduga, seperti apa rupanya, bagaimana aksinya, kapan ia akan menyapa dunia, etc. Dia datang sebagai partner protagonist mengimbangi keniscayaan si kuat.

Tapi kemudian saya jadi berpikir lagi. Iya sih saya hidup di dunia ini sebenarnya juga seperti si aktris/aktor di tivi itu, menjalankan peran. Tapi yg berbeda adalah bahwa saya disutradarai oleh Sutradara Terbaik yang ga pernah akan dzalim sama si aktris/aktorNYA.

Skenarionya pun istimewa. Sudah ada beribu2 tahun sebelum si pemain ada. Jadi setiap alur, plot, setting tempat dan lain2 semuanya sudah benar2 dipersiapkan. Jadi ga mungkin ga bisa diuraikan dgn sebuah logika. Meski untuk mencapai logika itu perlu waktu yg mungkin lama, tapi bisa juga dalam sekejap mata. Semuanya digariskan berdasarkan tujuan dan manfaat yg tertulis di catatan cerita itu.

Jadi ga mungkin kalo saya menjalankan peran yang nangiiiis terus, atau teraniayaaaa terus, atau ketawaaaaa terus, ga mungkin. Sebab Pembuat Skenario ingin si aktris/aktorNYA merasakan berbagai macam peran kehidupan, supaya si pemain bisa tahu apa yg harus dilakukannya ketika berada dalam setiap babak, biar si aktris/aktor sadar betapa beruntungnya dia pernah menjalankan peran yg beda2 sehingga bisa nambah pengalaman dan bisa ngambil makna dari setiap cerita.

Lebih jauh lagi, dari peran2 yg kita mainkan, nantinya Sutradara Terbaik itu bisa memutuskan siapa2 yg berhak didaulat menjadi aktris/aktor terbaik versi Reality Life Award. SCTV atau Panasonic Award mah lewaaatt…

Dan yg lebih mengasyikannya, di akhir pemutaran scene kehidupan nanti, yg jadi pemenang akan dibawa ke suatu tempat yg paling indah, yg belum pernah dilihat oleh mata sebelumnya, yg belum pernah didengar telinga sebelumnya, yg ga bisa dibayangkan pikiran sama sekali. Kemana?? Iya, ke Surga, selamanya lagi. Benua Eropa dan Amerika aja mah lewaaatt…

Jadi…kalo mau dibawa ke tempat indah itu, mesti sabar menjalani peran2 selanjutnya. Ga perlu ngerasa susah sebab hadiahnya pun sangat indah. Perlu pengorbanan yg ga dikit kali. Yaa…sama kaya aktris/aktor di tivi2 itulah, perlu usaha keras biar tampangnya eksis terus. Perlu permak sana sini supaya bisa dapat peran yg beda2.

Pertanyaannya sudah siapkah kita jadi pemain dari Skenario Istimewa yg ditulis langsung oleh Sang Sutradara Terbaik di Arsy-NYA sana??

p.s. haha...gaya si Aku teh meni siga pemikir, banyak mikir, tapi kayanya mah kebanyak nonton sinetron seeh, jadi weeh kitu...^^

Sunday, October 11, 2009

My Birthday Saying



-see the picture first and read the words then-

But I’m grateful to be myself
Because I’m surrounded by love
I love myself the way I am
Despite my life is hard, it’s hurt, it was not exactly fully happy
But the best choices are passing it and keep my step forward

I’m thankful for my nice blessing parents
Alhamdulillahi jazaakumullohu khoiro mom-dad…
For giving me a ‘private space’ to think and make my own decision
Supporting me in good times and in bad
Be with me when my life seems easy and hard

I’m thankful to all my sweet friends
Alhamdulillahi jazaakumullohu khoiro guys…thanks
For being such a good friend up till now
Being my inspiration to pursue my dreams
I’ll never forget every moment I have been through with all of you


I’m thankful that I don’t have everything I desire yet
If I did, what would there be to look forward to?

I’m thankful when I don’t know something
It gives me opportunity to learn

I’m thankful for the difficulties time
During those time I grow

I’m thankful for the limitations I currently have
It gives me chance for improving myself

I’m thankful for each new challenge I take
It will build my strength and personality

I’m thankful for every mistake that I have made
It will train me priceless lessons

I realize that the laughter and the tears have made me stronger
Brought me closer to my Lord God up there and improved the way I live
Thanks for all You have given to me, Alloh…
Alhamdullillahirobbil ‘alamin

p.s. I dedicated to my Lord, Allohu Robbi, my parents + fam, all my friends…

Saturday, October 10, 2009

Ada Kita di Keheningan Doa Orang Lain...


Beragam capaian hidup mungkin sudah pernah atau tengah kita rasakan saat ini. Satu hal penting yang kemudian tidak hanya untuk dicatat tapi juga perlu diingat oleh setiap kita adalah bahwa semua capaian itu tak lepas dari dua hal: kerja keras dan doa.

Kerja keras mutlak dilakukan sebab setiap keinginan hanya bisa diwujudkan melalui ikhtiar. Sementara doa hadir sebagai bentuk kerendahdirian kita dihadapan kemahatinggian Alloh, agar kita semakin menyadari bahwa hanya pertolongan dari Alloh sajalah yang mampu memudahkan dalam setiap capaian hidup, yang hanya bisa mengeluarkan kita dari semua macam kebuntuan jalan. Wa kafaa billahi nashiro...

Keduanya bertalian erat. Hampir bisa dipastikan tak mungkin terpisah satu sama lain. Seperti dua sisi mata uang. Sebab jika hanya mengandalkan kerja keras tanpa doa, adalah kesombongan. Sebab berdoa terus-menerus tanpa usaha adalah bukti kemalasan dan kebodohan.

Kita tidak pernah tahu, pada doa yang mana persisnya kita mendapat karunia. Kita tidak pernah tahu dari doa siapa kita mendapat pengabulan kebaikan. Kita tidak pernah tahu, boleh jadi rahmat Alloh yang datang pada kita adalah doa dari seseorang ketika kita bersin.


Tanpa kita sadari, banyak orang yang tak lelah mendoakan kita, dalam doa-doa umum atau doa-doa khusus, dan kita tak pernah tahu pada doa yang mana kita mendapat karunia, kebaikan, hidayah, kemudahan rezeki atau kesembuhan dari Alloh. Bahkan dari bersin yang bisa kita jadikan kesempatan untuk saling berbalas doa.

Doa orang lain di sekeliling kita memberi kontribusi yang cukup kuat pengaruhnya terhadap diri kita. Bahkan Rasululloh mengingatkan, salah satu doa yang amat mustajab disisi Alloh, yaitu doa yang dipanjatkan orang lain untuk kita, tanpa permintaan dan tanpa sepengetahuan kita. Itulah yang beliau sebut dengan ad du’a bi zhahril ghaib.

Doa di belakang layar itu sangat mustajab, dan dengan segala kerendahan hati kita harus yakin bahwa ada orang yang melakukannya untuk kita, tanpa kita sadari, tanpa kita tahu dan tanpa perlu tahu, tetapi wajib mengucapkan syukur dan terima kasih. Karena itu kita tidak bisa mengklaim bahwa apa yang kita dapatkan sekarang ini, tidak ada campur tangan orang lain.

Orang yang paling dekat dengan kita adalah ayah-ibu kita.

Mereka berdualah yang ruang ingatannya tak akan pernah kosong dari sosok-sosok kita, dalam keadaan apapun. Doanya tidak pernah putus menyertai kita, dalam segala keadaan. Entah kita sedang dekat dengan mereka, entah pula sedang saling berjauhan.

Ya selalu ada yang mendoakan kita, tanpa kita sadari. Maka kitapun baiknya menyertakan orang lain pula dalam bait-bait doa kita. Mendoakan orang lain adalah wujud perhatian yang besar, empati, peduli. Dengan mendoakan orang lain, kita bisa kian mengikis keakuan, menyingkirkan ego dan menggerus arogansi dalam diri.

Seseorang yang kerap mendoakan orang lain, adalah orang yang lebih dekat dengan kenyataan hidup dan sadar akan segala keterbatasan. Merasakan kesyukuran lebih dalam terhadap kondisi yang dialami, karena melihat ada kondisi-kondisi yang lebih berat di ruang kehidupan yang lain.

Maka sertakanlah orang lain dalam doa-doa kita, karena boleh jadi, kebaikan yang kita alami hari ini, saat ini, detik ini, adalah bagian dari munajat seseorang yang kita tidak kita sadari.

Allohua’alam…

p.s. Alhamdulillahi jazaakumullohu khoiro buat ayah-ibu-nya Rina yang ga pernah lepas doa buat anak2nya...juga buat org2 yang sudah dengan ikhlas menyertakan nama Rina dalam setiap sujud dan doanya, baik yang diminta langsung ataupun dalam ketidaktahuannya Rina...

Tuesday, October 06, 2009

Tulisan Tengah Malam


29 September 2009
Waktu menunjukkan 1.30 malam lebih sedikit.

Si Aku terbangun dan baru menyadari kalau dirinya tergeletak di lantai kamar. Seraya bergumam, owh…ketiduran –lagi- di bawah. Masih sambil dengan mata yang sedikit tertutup dan terbuka, antara ada dan tiada, tangannya meraba2 daerah sekitarnya yang tak luas. Iiihhh…si hape kamana sih, begitu kira2 pikirnya meronta setelah sekian detik yang dicari tak kunjung bisa dipegang. Yah sudahlah, menyerah, mungkin tertinggal di atas ranjang.


Masih dalam keadaan terkapar di lantai –yang kalau di Bandung dulu mah pasti dingin banget- kemudian si Aku memutar pikirannya ke masa sebelum dirinya saat ini, berada di kos2an ini, terdampar –yang dia harap hanya sementara waktu- di Surabaya dengan suhu hariannya yang selalu tinggi, selalu panas. Cukup membuat si Aku teh jarang bepergian. Rutenya selalu sama dari hari ke hari, kosan-kampus (basecamp)-kosan, atau kalau saat pulang ada yang mau dibeli dulu jadinya begini: kosan-kampus-Alfa mart-kosan. Yaaahhh…ga jauh2lah dari jalur itu.

Awalnya senang akan berada jauh –lagi- dari rumah. Setelah sebelumnya tinggal beberapa tahun di Bandung (duuuhhh Bandung, I miss u so…) lalu mencari pengalaman di salah satu ponpes swasta di daerah Cipanas, dan…disinilah sekarang si Aku menjejakkan kakinya: Surabaya, yang terkenal dengan patung ikan dan buayanya.

Tuh…lihat si Aku dengan patung 2 makhluk itu. Tapi jadi teringat komentar seorang teman, “sejak kapan patung Surabaya ada ketek-nya??” (ketek = monyet, Jawa mode: On). Waduwh…ga sopan pisan ngatain Aku ketek, ayu begini kok disamain sama nyemot, sungguh menohok.

Kupikir akan sebentar di Surabaya, tapi…setelah pengumunan beasiswa yang terakhir tanggal 15 September 2009 lalu kurasa sisa tahun perkuliahan akan kuhabiskan di tempat ini. What a pity…

Sedih sih belum bisa mewujudkan mimpi sekolah di luar negeri, tapi kemudian si Aku berpikir, apa karena itu lantas dia bisa menyia2kan kesempatan meraih master cuma2 meski di dalam negeri?

Seharusnya teh si Aku bersyukur yah, dia masih bisa mewujudkan mimpinya yang lain: kuliah master gratisan, hehe…Secara kuliah dengan biaya sendiri buat si Aku mah gede pisan. Alhamdulillah ya Rabb…makasih buat kesempatan menjalani kuliah master gratisan ini…tapi beasiswa doktor ke luar negeri ya Rabb ya…hehe anggeur…aamiiiinnn...

Monday, October 05, 2009

Obrolan Langkah2



INT. PELATARAN SENJA YANG TAK LAGI RAMAI –HAMPIR PETANG

KIRI:
Ayolah bergerak!! Selagi Tuhan masih menakdirkan kita saling melengkapi dan bersinergi membangun mimpi.

KANAN:
Hmm…Jika aku berhenti saja sampai di pemberhentian ini, apa akan menjadi masalah buatmu, Teman??

KIRI:
Haha…Kau bercanda ya??
Bagaimana caranya aku berlari mengejar pelangi jika hanya ada aku sendiri??

KANAN:
Tapi…aku ga yakin bisa kembali berdiri, apalagi berlari…

KIRI:
Jangan bilang kamu masih ingin duduk disini?? Oh salah…lebih kuperjelas: terpuruk disini??

KANAN:
Kamu sadis!!
Aku ini butuh dihibur bukan malah dicaci seperti itu…

KIRI:
Hahaha…hiburan macam apa yang kamu harapkan?? Masih belum sadar juga jika tak ada tempat disini bagi siapa saja yang merasa putus asa dan meratapi nasib tak berhenti2!!

KANAN:
Maksudmu, aku??

KIRI:
Tergantung. Jika kamu merasa dan tak beranjak dari posisimu, iya.
Kamu akan ditinggalkan. Lebih tepatnya kita. Ayolah…jangan kamu ikuti egomu. Pikirkan aku. Aku mau maju!!

KANAN:
Jadi…aku yang salah?? Aku yang tidak memikirkanmu?? Hhh…tidakkah kamu melihat keadaanku??

KIRI:
Itu keadaan yang kamu buat sendiri. Seharusnya kau rasakan sendiri, tak perlu melibatkan yang lain. Tapi sekarang kamu tidak hanya membuat aku tertinggal, tetapi kita…
Harusnya tak bisa kutolerir, sebab perjanjian awalnya kita tidak akan pernah berhenti kecuali kita sudah mati…atau benar2 sendiri. Apa kamu sudah mati?? Apa kamu sekarang sendiri??

KANAN:
Aku tidak mati, belum mau. Dan aku juga masih kamu temani. Aku masih ingin mewujudkan mimpiku yang lain.

KIRI:
Kalau begitu ayoo!! Tidak harus menunggu keadaan membaik untuk jadi baik kan?? Malah kita yang harus jadi pionernya. (agak sedikit melemahkan suara) Berlakulah baik pada dirimu sendiri dulu. Jangan kamu tahan2 untuk berdiri. Sekarang katakan apa yang kamu butuhkan??

KANAN:
^_^ (tersenyum)

KIRI:
Kenapa?? (salah tingkah)

KANAN:
Kalau kamu bersikap manis seperti yang terakhir itu tadi, lucu juga ya…hehehe

KIRI:
Halah…sudah ayo cepaaatt!! (kembali galak)


# Ending Story #

Keduanya kemudian melanjutkan langkah yang sempat terhenti, meski hari kian gelap, meski KANAN bergerak diseret KIRI.
Sembari menatap mentari yang kian merunduk di ujung hari, keduanya berikrar tidak lagi2 berpikir untuk berhenti mengejar pelangi...

Dua Sesuatu

Hari ini…

Ya…hari ini…aku masih bisa menyunggingkan senyum pada mentari yang bersinar tanpa bosan. Masih sanggup mencuci beberapa potong pakaian. Masih kuat untuk membersihkan kamarku yang berantakan. Masih ikhlas menyapa orang-orang yang kutemui di jalanan. Masih bisa menyaksikan teman2 kuliahku cekikikan. Masih bisa bermimpi tentang masa depan yang ingin kuwujudkan. Dan masih2 yang lainnya. Aku bersyukur untuk semua itu Tuhan…

Hmmffh…Aku berjalan menuju kampus, sendiri. Saat itu masih sepi. Pukul 6 pagi waktu Surabaya. Tapi…rasanya matahari sudah cukup tinggi. Iseng kuamati orang2 yang berlalu lalang di sisi kanan dan kiriku ini. Tapi…aku malah sibuk dengan diriku sendiri. Soalnya ada 2 sesuatu yang sedang berdiskusi. Meski aku tak cukup mengerti tentang apa yang di bahas disini, tapi…sepertinya ini sebuah kontemplasi. Hmm…begini katanya…

(sesuatu kesatu)
Aku harus meneruskan langkah meski terkadang hidup hadir dalam wajah yang tidak ramah. Apa bisa itu jadi alasan untuk menyerah dan mengaku kalah?? Mungkin, tak apa kurasa kalau sesekali berhenti, menatapi jejak yang sebelumnya kulalui, atau sekadar memenuhi perbekalan yang hampir kandas sama sekali, atau untuk menarik napas panjang untuk bertahan di perjalanan selanjutnya barangkali. Yang jelas harus tetap maju, bergerak!! Tak ada alasan kembali apalagi berhenti bahkan sampai menyesali. Sebab ini jalan yang kuyakini menuju suksesku sendiri.

(kemudian sesuatu yang lain datang tanpa diundang)
Yakin itu bukan jalan yang keliru?? Yakin kalau ini jalan yang dituju?? Yakin kalau kamu tidak melihat petunjuk bahwa kamu harus berhenti dan kembali pada jalan utama sebelum kemudian memutuskan berbelok ke arah yang ini?? Yakin ka…

(sesuatu kesatu kembali bicara)
STOP!! Berhenti menyuarakan hal2 yang meragu macam itu. Sungguh tidak membantu, geramku. Meski diam2 aku membenarkannya juga. Sedikit membenarkannya, kuralat. Banyak2 menyimpan pikiran itu menjelmakanku seperti manusia yang tak bersyukur. Terkadang aku tak paham dengan tampilan2 fakta yang ada, tapi itu bukan jadi alasan untuk tak bisa mengartikan makna di baliknya, bukan??

Yeah…kuakui, memang tidak mudah mencari jembatan penghubung antara ego dan logika. Terkadang keduanya tak sampai pada kata sepakat dalam memandang dan memaknai sesuatu. Dan itu sempat menyulitkan si Aku sebagai pelaku utama menjalankan keduanya. Tapi semua bisa dipelajari. Dan yang sedang kulakukan sekarang adalah: belajar.

Belajar mengendalikan ego yang meletup2. Belajar untuk tidak menyerah dan bangkit lagi ketika hidup menggempur jatuh. Belajar untuk tidak pesimis meski juga belum yakin untuk optimis. Belajar memulai lagi dari awal jika merasa gagal tapi masih ingin memperjuangkannya. Belajar untuk mengorientasikan segala jenis ikhtiar pada mencari keridloan Tuhan. Belajar memahami bahwa ada wilayah2 tertentu yang tak bisa dijangkau dengan logika manusia. Belajar memasrahkan akhir episode setiap fase hidup hanya pada Alloh dengan sebenar2 ikhlas setelah sebelumnya ikhtiar dan doa yang giat. Belajar…belajar…dan belajar…

***
Kampus masih sepi ketika dua sesuatu itu berhenti ‘berdiskusi’. Kemudian aku membuka kembali sebuah pesan singkat dari seorang teman yang sedang berada jauh darisini.

Rina..
Wajar kok ngrasa pesimis,
tp itu kn bwt ‘sesuatuny’
bkn psimis krn ga akn dpt brqhny kn?..
krn apapun hasilny insya Alloh
itu yg brqh bwt Rn..
dn ga smw yg kita mw itu
brqh..
Tapi..klo emg itu brqh bwt Rn..
meskipun scr logika ga mgkn..
rn insya Alloh akn dptkan itu...
skrg..doa, wait and see aj..=)

Message details:
From Mr. R <+3546185***>
Subject …
Date 19/02/2009
Time 7:58 am
Type Text message

p.s. untuk pesimis yang selalu tersenyum sinis: siapa bilang aku mau mengakhiri ceritaku dengan tragis?? Ga la yaw…Malah aku akan membuatnya manis…I promise…

si Sayah dan Hati-nya

FADE IN:
INT. DIANTARA DUA DINDING –PAGI

Rona segumpal Hati tak seceria biasanya dan si Sayah yang menyaksikannya tampak berkewajiban menghiburnya.

(si Sayah bertanya pada Hati)
Heh Hati, kumaha yeuh damang [apa kabar –red]??

(ZOOM IN)
(ceuk Hati [kata Hati –red] pada si Sayah sebagai respon)
Menurut lo??

(si Sayah berkata lagi pada Hati, ayeuna bari jeung seuri [sekarang dgn tersenyum –red])
Hehe…meni sewot ih…[sewot bgt –red]

(Hati melirik pada si Sayah dengan sorot mata tajam, maksudna mah supaya si Sayah sieun [maksudnya supaya si Sayah takut –red], tapi it didn’t work at all)
-lirikan singkat namun dahsyat-

(si Sayah beuki [makin –red] tertawa terbahak2)
Hahaha,,,fatal Hati mun [kalau –red] kamu barharap dengan lirikanmu itu si Sayah bakal sawan [takut –red]…

(ZOOM OUT)
(Hati is thinking then, kumaha carana meh si Sayah cicing [gmn caranya agar si Sayah diam –red])
-lalu…Hati is leaving…-

(si Sayah matanya jadi terpicing)
Euleuh [eh –red] si Hati ditanya teh malah berpaling…

# Epilog #

Hati berhasil dengan strateginya: membuat si Sayah terdiam. Si Sayah juga tidak bisa berbuat apa2 setelah Hati pergi. Secara kalau diteruskan hasilnya si Sayah akan jadi pembicara tunggal. Dan itu posisi yang tidak cukup mengenakan. Salah2 disebut jalmi nu keur teu damang [org yg sedang sakit –red]. Jadilah si Sayah terdiam kelu di sudut waktu.

Jadi intinya penggalan di atas hanya sebuah fiktif belaka yang ditulis tanpa rencana dan keluar begitu saja. Tanpa bisa diduga kemana akhir akan bermuara. Jika ada kemiripan tokoh, tempat atau alur cerita, itu hanya sebuah kebetulan semata yang tidak direka2.

p.s. efek samping setelah membaca cerita di luar hak cipta. Jika Anda merasa terbawa gila, maka si pencerita hanya bisa berdoa, semoga lekas diberikan kesadaran jiwa. Jika sakit berlanjut dilarang keras menyetel musik dangdut (lho?? hahaha emang ga nyambung yang ini mah...).

Warna2 di Dunia Rina...


Drrrttt…drrrrrtttt…(silence profile)

1 message received


From Mr. X
(seorang sahabat)

(layar 1)

kt org
shbt tu b’harga bgt,

nilai p’shbatn tu tnggii bgt,


(layar 2)

ak nyseL br tw skrg,


-bersambung-

***

Sesaat sebelum pesan singkat itu masuk, sebenarnya Rina sedang memperhatikan warna2 yang begitu banyak rupanya untuk keperluan suatu desain. Tapi kemudian dia jadi berpikir sesuatu, mungkin berfilosofi, yeah…meski agak sedikit maksa sih.

Rina memulainya: ‘sahabat itu seperti warna’.


Kalau dunia ini indah dan semarak krn bantuan warna2 yang banyak, maka dunia seorang Rina Okta juga sangat bercorak krn hadirnya sahabat2 yang tak henti menghadirkan semangat. Tanpa ia sadari sebelumnya, ternyata keberadaan sahabat2 itu menyisipkan rasa yang beda dalam hari yang ia punya. Menambahkan bermacam warna di hidupnya Rina sehingga ia tak lagi hanya memandang 3 warna: putih, hitam, dan perpaduan keduanya. Itu sangat membuat ia menjadi:
B A HA G I A.

Krn Rina Okta ini termasuk kategori pelupa, maka warna2 yang sudah ia punya kemudian disimpan teratur dalam hati yang sudah ia partisi. Ia sangat antusias mempelajari warna2 yang ada dalam dunianya. Sebab makin hari partisi2 dengan banyak folder itu makin sarat makna. Penuh dengan karakter dan cara pandang yang beda2 namun istimewa. Disitu letak berharganya. Rina mengira bisa menukarnya dengan sesuatu yang lebih mewah, tapi kemudian lekas menyadari bahwa mewah tak selalu berarti bahagia. Meski dalam interaksinya ia tak jarang mengalami kecewa menghadapi warna yang diluar duganya, yang tak secerah kemauannya, yang tak seindah dalam benaknya.


Tapi kemudian dia mencerna kembali pemikirannya, bukankah menjadi kecewa itu salah satu aspek yang harus Rina rasa? Sebab mengenal dan menyimpan warna baru dalam hidupnya bukan tanpa resiko satu atau dua. Ia tidak bisa hanya menerima warna2 yang ia suka saja. Sebab nantinya ia tidak akan banyak belajar tentang warna lain yang boleh jadi membuatnya makin bijaksana dan bijaksini menjalani dunianya. Aaahh…kekecewaan mah akan hilang seketika sebab tertimpa warna yang lebih ceria, tul ga??


Intinya, apapun warna2 yang ada dalam hidup seorang Rina Okta, menyenangkan mata atau malah membuat kesal jiwa, bisa diterima logika atau mungkin hanya menambah hambar rasa, mereka telah membawa corak baru yang beda dari sebelumnya. Yang bisa ia amati untuk bahan kontemplasi diri. Yang memungkinkan ia berpikir tak hanya untuk satu sisi. Yang juga bisa ia ajak ketawa ketiwi haha hihi…sambil memandang optimis pada metamorfosis kehidupan yang hanya bisa dirasakan satu kali. And she will take in good part, whatever the colors she got.

Dan pada akhirnya Rina dipertemukan pada satu makna: mensyukuri kehadiran dan keberadaan mereka –semua sahabat2nya- yang pernah ada dan akan selalu ada dalam jejak hidup seorang biasa bernama Rina. Lebih tepatnya didatangkan Tuhan untuk ia syukuri.


‘Alloh…makasih…Sahabat2ku…makasih…’
, Rina mengakhirinya.


(kembali meneruskan memilih desain)


***

-lanjutan-

(layar 2)
cb dr dl..

psti udH ak juaL smw shbt2q,,


buat ngisi tbungan, haha :p

Message details:

From Mr. X <+0815724*****>
Subject …

Date 29-07-2009
Time 6:34 pm

Type Text message


p.s1 Alhamdulillahi jazaakallohu khoiro…buat si pengirim yg bikin seorang Rina Okta makin bersyukur utk hidupnya krn ia dikelilingi sahabat2 yg tdk hanya mengingatkan saat lupa tetapi juga membagi setiap tawa bersama…


p.s2 thx, makasih, gracias, hatur nuhun, matur suwun…semua bentuk ucapan yg lain yg intinya sama…buat mereka2 yg sudah hadir memberikan warna dan corak yg beda di dunia Rina, yg kemudian Rina menyebutnya: S A H A B A T, di bumi manapun kalian berpijak…


eeh tapi yah…andai bisa dijual pun…paling lakunya berapa?? Hehe ups…maksudnya ga akan pernah bisa melakukan itu…ga akan…^^

Basa-basi atau...Peduli??

# Bag 1 -2007 #

Teman:
Kapan lulus??

Si Aku :
(ingin sekali menjawab, “kapan2…” tapi kemudian bicara sambil tersenyum dalam ketidakpastian)
Insya Alloh akhir tahun ini…Mohon doanya aja…

# Bag 2 -2008 #

Teman:
Ehh dah lulus ya?? Selamat ya…Kerja dimana sekarang??

Si Aku:
(bersyukur diam2 sebab kali ini punya jawaban pasti…)
Owh iya Alhamdulillah disini…bla…bla…

# Bag 3 -2008 #

Teman:
Ih gaya ih udah gawe…sok atuh iraha merit teh?? [ya udah kapan nikahnya –red]

Si Aku:
(huff…mesti jawab apa?? Pengennya mah menjawab dengan pasti, tapi lagi2 menggantung…)
Hmm…kapan ya?? Nya atuh doain weh biar segera…


Huff…si Aku menghela nafas panjang. Hehe…kemudian terkekeh di kesendiriannya. That’s a life, simpulnya sambil menarik salah satu sudut bibirnya ke atas: tersenyum sepotong. Yeahh…selalu ada pertanyaan2 macam itu dalam hidup, bahkan tanpa melalui pesan-memesan sebelumnya. Entah sebagai sebuah bentuk perhatian sajakah atau hanya keisengan semata. Dan entah pula kapan tradisi itu bermula. Yang jelas dia mengalaminya.

Si Aku jadi berpikir kenapa harus ada pertanyaan2 itu dalam setiap jenis obrolan kehidupan. Seolah si penanya berkedudukan sebagai orang yang selalu ‘mau tauuuu aja’. Apakah tidak ada tema yang lebih ok?? Tapi…hahaha…si Aku jadi tertawa dan berpikir lagi, justru itu yang ok kan, lebih situasional, sebab bersinggungan langsung dengan yang dijalani. Terkadang penting juga orang lain mengetahui ke-update-an hidup kita dan sebaliknya. Boleh jadi seseorang mendapat pencerahan dari apa yang orang lain alami dan terinspirasi melakukan hal yang lebih positive. Nah masalahnya muncul disini: ada yang mau berbagi, ada yang menutup diri dan ada pula yang biasa saja.

Beda orang beda kepala tentunya. Ada yang senang kehidupannya ter-blow up, terbuka ketika ditanya tentang rencana kehidupan yang sedang dijalaninya. Ada yang sensitive kalau ditanya masalah privasinya dan memilih diam bahkan menjauh. Ada juga yang ga punya rasa alias lempeng2, prinsipnya: asik aja selama ga ganggu gue.

Praktis kemudian si Aku membandingkan, kalau begitu apa bedanya dia dengan selebritis ya?? Mungkin dia hanya kalah dalam jumlah relasi saja barangkali. Atau berakting hanya di depan orang2 sekitar bukan di depan kamera. Waduwh…kok malah nyambung ke selebritis seeh?? Ya jelas bedalah…Haha…si Aku mah aya2 wae…mauu ajah disama2in sama si seleb.

Tapi kemudian si Aku jadi bersyukur juga dengan pertanyaan2 macam itu, bersyukur masih ada yang melontarkan pertanyaan itu padanya. Serasa diperhatikan oleh orang2 yang berputar di dunianya. Dan itu cukup menjelaskan bahwa di mata mereka si Aku ada, eksis. Meskipun niat awal mereka mungkin ya…hanya basa-basi, daripada ga ada obrolan sama sekali, si Aku tetap menganggapnya sebagai suatu bentuk peduli.

Meskipun terkadang mereka bertanya di kondisi yang tidak tepat, si Aku yakin mereka tak bermaksud menyudutkan. Meskipun sempat bosan dengan pertanyaan2 yang itu2 saja, sementara si Aku belum bisa memberikan jawaban yang berbeda pada mereka, si Aku sangat berterimakasih sebab dari sana dia diingatkan betapa dirinya belum beranjak dari posisi itu dan harus segera memulai sebuah pergerakan baru sehingga bisa menjawab setiap pertanyaan tanpa ragu.

Dan belakangan si Aku merasa harus benar2 mengatakan: I thank you, guys…


# Bag 4 -2008 #

Teman:
(entah sadar atau tidak orang ini bertanya…)
Udah punya anak berapa??

Si Aku:
(seuri [ketawa –red] terbahak2 dalam hati…ngalindur meurenan ieu budak teh nya?? [ngigau kali ya nih anak –red])
Nikah aja belum, masa punya anak??

Sendiri di Keramaian...-part1-

“Kok sendiri, mba??” Tanya kasir sebuah mini market beberapa waktu lalu. Entah sudah kali keberapa dia bertanya dengan pertanyaan yang itu-itu saja.
Aku mesem. Ga tau mesti jawab apa, sebab faktanya memang aku sendiri. Lagipula iseng banget sih si mba kasir ini, pake tanya2 kok sendiri pula. Memangnya mba kasir itu pernah lihat aku datang rame2 apa? Eh…justru mungkin dia tanya begitu krn dia ga pernah lihat aku pergi dengan selain diriku kali ya. Aahhh…emang gue pikirin.

“Sendirian aja, mba…,”
sapa seorang ibu tak jauh dari rumah kosku ketika aku pergi ke kampus.
Aku hanya mengangguk kecil, sambil tersenyum tentunya. Bingung juga mesti jawab apa. Rasanya itu bukan pertanyaan, jadi kayanya ga perlu dijawab. Atau jikapun pertanyaan, pasti pertanyaan retoris, alias ga butuh jawaban. Aahhh mungkin hanya basa-basi. Tapi basa-basi yang tepat sasaran. Mungkin si ibu berpikir sudah berkali-kali melihat aku mondar-mandir di jalan depan rumahnya seorang diri. Pergi sendiri pulang pun sendiri. Berbeda dengan anak-anak kampus lainnya yang pergi dan pulang selalu bersamaan. Minimal berdua. Hehe…ibu..ibu…lalu aku bergumam sambil terkekeh dalam hati. Mereka kan masih s1 bu. Aku ini kuliah master bu. Jadi kemana2 sendiri juga ga masalah, lebih tepatnya bukan masalah. Lho, memangnya ada hubungan ya antara kesendirian dengan tingkatan kuliah?? Hahaha…bisa jadi kali ya…nanti akan kita bahas di tulisan yang lain.

“Duduk sendiri, de?” Kondektur kereta eksekutif jurusan Surabaya itu bertanya sambil meminta tiketku. Aku tersenyum –lagi- sambil mengangguk.
Huff…entah sudah berapa banyak pihak, baik yang tidak kukenal apalagi yang kukenal, menanyakan tentang kesendirianku. Aku jadi berpikir, salahkah masih sendiri?? Apa mengganggu kalo aku kemana2 sendiri?? Salah2 nanti kalo aku bawa sekampung dikirain mau demo lagi. Duuh…susah ya…


Dari cuplikan scene yang aku jalani di atas, aku jadi sedikit berpikir tentang kesendirian. Bahwa ada kalanya sangat nyaman menjadi sendiri, tak perlu bertanggungjawab pada siapapun, hanya cukup menjaga diriku sendiri. Tapi ketika berada di keramaian, dimana sepasang mataku hanya bisa menangkap orang2 dengan pasangannya, seketika kesepian itu menyergap. Dan aku menyadari betapa sendiriannya aku. Saat kulihat di samping kiri dan kananku tak ada seorangpun yang nyata yang bisa kuajak bicara atau sekadar tertawa ringan, aku baru mengerti bahwa sendiri itu tak cukup menyenangkan. Huff…

Tapi…aku memilih untuk jadi orang yang bahagia, terlepas bagaimanapun keadaanku saat ini. Kupikir tidak perlu menunggu menjadi berdua atau bertiga untuk jadi bahagia. Siapa yang bisa menjamin dengan mendua atau mentiga aku bisa lebih senang dari yang kujalani sekarang. Yeah…meski tak bisa kupungkiri mungkin akan lebih bahagia jika tak lagi menjadi tunggal putri.
Hmm…jadi ingat seorang teman ketika kuliah sarjana dulu. Saat kutanya, “keliatannya kemana2 sendirian aja nih, teh?” Bisa menebak apa jawabannya??

“Aahh…ntar juga dikubur sendiri kok…”


Can’t say anything other…
And I was smiling then…

Monolog Dua Sisi


Sisi 1:
Kesedihan memiliki alasan untuk bertindak konyol. Dan sekarang aku sedang bersedih. Jadi apakah penarikan kesimpulan bahwa aku diperkenankan bertindak konyol bisa dikatakan valid??

Sisi 2:
Valid untuk kategori mana?? Modus Tolenkah?? Atau Modus Ponen?? Atau mungkin Silogisme?? Ahh…jangan2 itu hanya akal2anmu saja sebagai pembenaran diri. Haha…kurasa aku masih punya sedikit akal sehat untuk mencegahmu bertindak bodoh. Ayolah…bukankah ini kesedihan yang biasa?? Kupikir dirimu sudah cukup lihai mengendalikan diri: hati dan pikiranmu.

Sisi 1:
Itu tak semudah yang kau bayangkan!! Kau benar, kesedihan ini memang biasa, tapi apakah karena ini sudah menjadi kebiasaan lantas tak boleh bersedih?? Aku sempat berpikir bahwa aku sudah cukup kebal dengan hal2 seperti itu. Tapi jika datangnya berulangkali dan merobohkan setiap dinding pertahanan yang setengah mati kubangun, apa aku masih punya kekuatan menegakkannya untuk yang kesekian kali??

Sisi 2:
Absolutely!! Itu yang perlu kau lakukan. Sebab jawabannya disana. Tidak ada jalan keluar lain untuk menegakkan bangunan yang roboh kecuali membangunnya lagi. Tapi kupikir kerusakan yang kau alami tak separah yang kau bayangkan. Coba lihat, tinggal sedikit saja menata bagian2 yang terkoyak. Ditambah sedikit melapisi dinding2 yang terlihat retak. Itu saja. Mudah kan??


Sisi 1:

Tapi aku akan menangis jika mengingat serpihan2 yang hampir lantak itu. Bagaimana bisa aku memperbaikinya jika mengingatnya saja aku sudah tersedu.


Sisi 2:

Hmm…aku tak bisa memungkiri persangkaanku padamu, bahwa kau akan menangis dalam perjalanan mengembalikan keutuhan dirimu. And If I were you, I would never keep it. Sebaliknya, kupikir membiarkan matamu mendapatkan haknya sementara waktu tak mengapa, toh tak akan berlangsung lama. Tapi kau harus berjanji pada dirimu sendiri untuk yang satu itu.


Sisi 1:

Terkadang aku merasa lelah ketika aku menyadari –lagi- satu fakta penting tentang jalan hidup: aku mendapati diriku tengah mendakinya setelah sebelumnya mungkin menuruni rangkaian jalan itu. Dan bukan sekadar ucapan, menyadari sesuatu yang masuk akal ketika berada di pendakian hidup amat sangat tidak mudah ketimbang menerimanya saat hidup menapaki jalan yang landai.


Sisi 2:

Tidak mudah memang. Tapi kupikir mencoba merasionalkan pikiran harus sering kita lakukan. Yakinlah bahwa kita bisa. Bisa karena biasa. Biasa karena terpaksa. Yeah…terkadang sesuatu awalnya perlu dipaksakan.


Sisi 1:

Sebentar, kau bilang apa tadi, kita?? Hei…kita itu minimal dua pihak lho…


Sisi 2:

Lho memang kita kan?? Aku dan kau…karena kita satu. Jadi harus saling mendukung satu sama lain.


Sisi 1:

Oh…oke…kupikir hanya aku sebab aku merasa kau menyudutkanku.


Sisi 2:

Kuakui, awalnya iya, rasanya memperlakukanmu seperti objek yang tertindas lucu juga. Tapi seketika aku sadar jika kau tertindas maka aku pun tertindas, berlaku sebaliknya. Kedua kita sama2 bisa berperan sebagai syarat cukup dan syarat perlu dalam sebuah implikasi. Dimana bagian yang satu akan jadi kuat sebab ada bagian lain.


Sisi 1:

Oke…oke…kau cukup tahu kemampuan logika matematikaku sampai tahap apa, jadi lebih baik kusarankan kita kembali pada merasionalkan pikiran. Aku sedikit menangkap maksud dari frasa kata itu, kenapa aku –kau juga- harus melakukannya. Tujuannya tak lain adalah agar aku tak terjerat dan terjebak dalam kesedihan berkepanjangan, betul kan??


Sisi 2:

Exactly right!! Sebab aku –kau juga tentunya- memilih untuk jadi orang yang bahagia. Orang yang menaklukan kesedihannya atas –sebutlah- kegagalan untuk kebaikan yang Tuhan masih rahasiakan. Yang boleh jadi rahasia itu lebih indah. Jadi rasanya tidak berlebihan jika kau –aku juga- mengusung kesedihan sebagai alasan untuk bersyukur.


Sisi 1:

Kau ada benarnya juga. Aku jadi sangat bersyukur masih bisa merasakan sedih, sebab aku bisa melihat dunia yang lain melalui pandangan yang lain. Dan yang pasti, aku bisa semakin dekat dengan Tuhanku. Yang menciptakan kesedihan sekaligus penawarnya dalam waktu yang bersamaan, tanpa aku sadari.


Sisi 2:

Ok…problem solving has done…good girl…=)