RSS Feed

Saturday, April 24, 2010

Menghargai Kenegatifan Diri?? *thinking then...*

Adalah dia seorang Adi, lengkapnya Aghniadi, siswa SMA kelas XI SMAN 5 Bandung yang pintar dan punya banyak kelebihan. Jagonya eksak, debat, bahkan menulis dan membuat puisi. Rasanya tak berlebihan jika saya memuji Adi. Hampir seluruh tulisan yang digoreskannya di note2 FB atau di situs pribadinya http://pelajarparuhwaktu.wordpress.com/ membuat saya terpaku sekaligus terpukau.

Untuk remaja seumurannya, dia memiliki kedewasaan dalam memandang sesuatu, tapi ga kolot, bahasanya jg ga berat, paslah sama karakter anak muda yang gaol, hehe...Hadduuhh makin bangga aja deh pernah kenal dengan sosok lelaki remaja berkacamata itu. Seperti hari ini, ga sengaja saya buka blognya, dan menjatuhkan pilihan pada catatan Adi yang berjudul MEMANUSIAKAN MANUSIA. Berikut isi lengkapnya. And i suggest to u to read this one...

***

Published: March 30, 2010 / 20:16

Category: Thoughts

Tags: antitesis, limit, manusia, matematika, negatif, positif, sempurna

-MEMANUSIAKAN MANUSIA-


Tadi siang, pelajaran matematika lagi ngebahas limit.

Ya, masalah tak hingga, mendekati, fungsi, juga positif dan negatif (dan ya, dari pelajaran eksak macam ini cuma informasi linguistik yang gue tangkap. Huh.)

Dari pembahasan selama 90 menit tadi, cuma ada dua kata yang terngiang-ngiang terus di kepala gue. Positif, dan negatif. Karena nampaknya dua hal itu lagi berhubungan erat banget sama gue.

Setiap hal diciptakan masing-masing punya antitesis. Salah dan benar. Gelap dan terang. Hitam dan putih. Positif dan negatif. Dua hal yang ada karena satu sama lain, dan tidak saling menihilkan. Dunia bisa membentuk sesuatu yang benar karena melihat pernah ada kesalahan terjadi. Terang bisa membuat sesuatu yang besar melekatkan bayangan gelap dibaliknya. Hitam adalah rupa final setelah semua warna dikonsentrasikan, dimana putih adalah awal dimana warna didispersikan.

Kausa dan efek yang ironisnya bergumul dalam waktu yang abadi.

Seperti manusia. Manusia adalah tempat dimana pergumulan abadi itu ada, sisi positif dan negatif. Dimana keduanya ada secara bersamaan. Nggak heran manusia itu makhluk yang rapuh. Diombang-ambing dua hal kontras.

Manusia mengejar kesempurnaan. Manusia adalah utopis, berharap tempat dan kondisi dimana segalanya sempurna, berjalan selaras.

Maka buat gue, menjadi manusia yang sempurna, dan menjalani hidup yang sempurna pula, bukan berarti berjalan di dunia tanpa cacat. Menjadi sempurna adalah karena kita mempunyai kedua sisi kontras itu, positif dan negatif, bukannya berpikir salah satunya yang baik untuk kita.

Gue, dan semua orang di luar sana adalah gabungan positif dan negatif. Dan jelas nggak mungkin positif dinegatifkan, begitupun sebaliknya. Jadi hiduplah juga dengan kenegatifan kita.

Itulah mengapa kita disebut manusia.

Dan menghargai semua kenegatifan kita (kesalahan, kegagalan, kesialan) juga manusiawi.

P.S: Strongly influenced by Samuel Mulia & Joko Anwar, two of the most creative person I’ve ever known.

http://pelajarparuhwaktu.wordpress.com/2010/03/30/memanusiakan-manusia-3/

***

Banyak catatan2 kecil yang muncul dalam benak saya sesaat setelah membaca tulisan Adi. Menghargai kenegatifan diri yang sudah sepaket Tuhan ciptakan di setiap diri kita ini memang perlu, agar kita sadar bahwa sebab kenegatifan diri itulah yang menyempurnakan predikat kita sebagai manusia. Namun kita dikasih pilihan sm Tuhan, mau membuat kenegatifan itu jadi lebih negatif atau menjadikan kenegatifan itu lebih positif (sebab pada dasarnya kita ga bisa menghilangkan sisi negatif diri kita) dan bisa mendatangkan kebaikan ga hanya buat diri sendiri tapi juga buat org lain.

Selebihnya...saya benar2 terpaku dan terpukau. Thx Adi...

Friday, April 23, 2010

GELIAT ANAK BANGSA MENUJU PENDIDIKAN SEMESTA


Indonesia Berprestasi



Orang yang berpendidikan selalu bisa menyelesaikan masalahnyaHj. Maqbul, Alangkah Lucunya (Negeri Ini)

Yang penting punya penghasilan, pendidikan itu penting kalau ada koneksiHj. Sarbini, Alangkah Lucunya (Negeri Ini)

Dua pernyataan yang saya ingat ketika menyaksikan film nasional bertajuk Alangkah Lucunya (Negeri Ini) besutan sutradara kawakan Deddy Mizwar. Sesaat saya tertawa, sembari berpikir, tentunya kedua haji tersebut tidak serta merta mengeluarkan kalimat sakti mereka tentang pandangannya terhadap pendidikan. Sangat diakui bahwa permasalahan pendidikan cukup krusial dan memiliki porsi yang seharusnya lebih besar untuk diselesaikan. Kita tidak bisa tidak acuh dengan kenyataan banyaknya pendapat bahwa antara yang tidak berpendidikan dan yang berpendidikan itu sama saja: sama-sama sulit mencari kerja.

Seperti argumen salah seorang anak jalanan pada sebuah forum diskusi:

“Untuk apa sekolah? Paling hanya untuk mendapatkan selembar kertas (ijasah –red). Untuk apa ijasah? Untuk bisa dapat kerja? Ga ada jaminan kalo sekolah bisa kerja. Lulusan-lulusan terkenal aja bisa nganggur, belum lagi ijasah yang bisa dibeli. Mendingan juga langsung kerja, umur ga sia-sia, terus dapat duit juga.”1

Tapi kemudian, pertanyaan saya dalam benak, apakah pendidikan hanya sebatas untuk mencari kerja?

PENDIDIKAN DAN FAKTA YANG MENGELILINGI

Tidak bisa menutup mata jika pendidikan di Indonesia masih belum semaju pendidikan di negara-negara lain, bahkan di negara-negara serumpun. Laporan Monitoring Global yang dikeluarkan lembaga PBB, UNESCO tahun 2005, posisi Indonesia berada pada nomor 10 dari 14 negara berkembang di kawasan Asia Pasifik, posisi pertama diraih oleh Thailand. Sementara menurut hasil survei World Competitiveness Year Book tahun 2007 dari 55 negara yang disurvei, Indonesia menduduki posisi 53.2 Dan info terakhir mengenai kualitas pendidikan Indonesia seperti yang dituturkan Jusuf Kalla, Indonesia berada di urutan 160 dunia dan urutan 16 di Asia.3 Namun kenyataan tersebut bukan menjadi alasan bagi kita untuk menghujat pendidikan di negara ini sekarat. Melainkan sebagai lonceng keras bahkan cambukan kuat untuk kita memicu diri ikut membantu membangunkan pendidikan negara kita yang masih tertidur lelap.

Lalu permasalahannya dimana? Mungkin pertanyaan itu mampir di benak siapa saja yang melihat kondisi pendidikan di negara kita. Dan saya jadi teringat jawaban seorang dosen salah satu universitas di Surabaya ketika ditanya soal tersebut.

Jika Anda bertanya tentang letak masalah pendidikan Indonesia, maka sama halnya Anda bertanya dimanakah letak sudut sebuah bolaProf. Sunarto, UNESA

PENDIDIKAN DAN DEDIKASI

Katakanlah Indonesia masih tertinggal dalam hal mutu pendidikan. Katakanlah kualitas sarana fisik masih rendah sehingga sulit mengoptimalkan kemampuan siswa. katakanlah keadaan guru yang belum berada pada level rata-rata profesionalisme menjalankan tugas. Katakanlah kesejahteraan guru pun masih belum ideal. Katakanlah pencapaian prestasi anak-anak Indonesia di mata internasional masih berada pada tingkat yang mengkhawatirkan (tingkat penguasaan materi bacaan soal-soal Fisika dan Matematika hanya 30% ). Katakanlah kesempatan pendidikan yang belum merata sebab biaya pendidikan yang mencekik leher dan hanya bisa dinikmati oleh kalangan berfinansial lebih.4 Katakanlah masih adanya budaya katrol mengatrol nilai bahkan membentuk tim sukses ketika ujian nasional.5 Katakanlah Indonesia memiliki kebiasaan berganti kurikulum seiring dengan bergantinya menteri.6

Lalu salah siapa terjadi demikian?

Tak penting rasanya mencari siapa yang patut dipersalahkan, sebab bagai meluruskan benang yang kusut, sementara kekurangmajuan pendidikan kita masih terus melarut dalam senyawa kehidupan, tidak hanya di tingkat Asia melainkan di seluruh dunia.

Hal bijak yang bisa dilakukan saat ini adalah berkaca pada diri sendiri lalu melihat posisi kita, entah sebagai pendidik, pengambil keputusan lembaga pendidikan, pengamat pendidikan, orangtua, masyarakat umum biasa, bahkan sebagai diri siswa itu sendiri, tetap harus memiliki andil dalam kemajuan dunia pendidikan Indonesia, sekecil apapun itu. Sebab kita ada untuk membuat pendidikan jadi tak lebih rumit, syukur-syukur menjadi salah satu pandu yang mengangkatnya ke permukaan dunia. Sebab kita hadir tidak semata-mata menjadi penggembira melainkan pioneer yang menggerakkan pendidikan negara dari keterdiamannya. Sudah saatnya anak-anak bangsa menjadi sorotan semesta, bukan lagi penonton yang hanya bertepuk tangan dan tertawa di pinggir arena.

PENDIDIKAN DAN INOVASI

Mengutip pernyataan di sebuah ulasan tentang pendidikan terbaik di dunia, Finlandia, yaitu Education is a factor for competitiveness.7 Saya yakin semua bangsa sependapat dengan hal tersebut, termasuk Indonesia. Kita tak perlu merasa bersusah hati sebab belum mampu mengungguli banyak negara soal pendidikan. Yang perlu dilakukan adalah tetap berusaha membuat masyarakat sekitar pada umumnya dan generasi-generasi bangsa khususnya, percaya bahwa pendidikan merupakan alat untuk memajukan diri dan negeri ini. Terbukti sudah banyak inovasi yang dilancarkan demi menaikkan kualitas pendidikan kita. Pemerintah dan semua elemen masyarakat sedikit banyak telah menawarkan solusi dalam upaya pengentasan problema pelik ini.

Mulai dari sertifikasi guru8 yang diniati untuk meningkatkan kesejahteraan pendidik yang kemudian diharapkan berdampak pada kinerja di lapangan: menjadi lebih berenergi dan bersemangat membantu siswa menggali ilmu yang ada dan mengembangkan potensi diri siswa. Dana BOS yang tahun ini mengalami kenaikan sebagai upaya memenuhi anggaran pendidikan 20 persen dalam APBN9 sehingga bisa sedikit-sedikit membantu ketidakmampuan siswa soal pembiayaan sekolah.

Lalu penelitian-penelitian tentang metode/strategi/pendekatan/model pembelajaran dari para sarjana, master, dan doktor bahkan profesor di bidang pendidikan yang tujuannya agar pembelajaran yang dilakukan siswa lebih efektif, efisien, tepat sasaran dan sesuai instruksi pengajaran. Dan yang cukup menarik akhir-akhir ini yaitu paradigma baru pendidikan yang mulai beralih dari teacher center menjadi student center, dimana siswa tidak hanya diberi keleluasaan untuk mengontruksi dan menemukan pengetahuannya sendiri dengan guru sebagai fasilitator, melainkan siswa juga dibantu oleh para pendidik mengoptimalkan seluruh kemampuannya, baik gaya belajar, kecenderungan kecerdasan ganda, tingkat perkembangan kognitif sampai kepribadian (termasuk IQ, EQ, SQ).

PENDIDIKAN DAN HATI

Tugas guru tidak hanya mengajarkan ilmu pasti atau ilmu sosial, melainkan untuk mendidik siswanya sehingga memiliki tanggungjawab dan mengarahkan mereka menjadi manusia yang berbudi luhur. Inilah dua tugas guru yang tidak mudah. Sebab mereka para guru harus mampu membentuk karakter dan mencerdaskan anak didiknya. Jadi profesi guru itu bukan hanya sekedar pelampiasan atau jalan alternative mencari nafkah. Ada tugas besar disana. Dimana hanya orang-orang yang punya komitmen tegar yang mampu bersabar di jalan itu.

Sepertinya kita perlu belajar pada guru-guru Finlandia.

Kehebatan sistem pendidikan di Finlandia adalah gabungan antara kompetensi guru yang tinggi, kesabaran, toleransi dan komitmen pada keberhasilan melalui tanggung jawab pribadi.10

Dan kini wajah pendidikan kita sudah mulai ‘ramah’. Maraknya kasus yang melibatkan emosi bahkan menghadirkan polisi dalam ranah pendidikan ternyata cukup membuat sebagian pendidik berpikir bahwa dunia telah berubah, karakteristik anak-anak yang lahir pun telah jauh berbeda. Perlu ada penyesuaian dalam pengajaran. Dan ‘mendidik dengan hati’ diyakini menjadi salah satu teknik penting yang harus diikutkan dalam interaksi guru-siswa. Sudah saatnya iklim pendidikan kita menyemaikan situasi yang dapat menyuburkan spirit mendidik dengan hati. Belakangan buku-buku bertema ini mulai bermunculan di pasaran, sebut saja salah satunya karya yang dilahirkan oleh seorang Doni Ronnie M berjudul Seni Mengajar Dengan Hati.11

PENDIDIKAN DAN TUJUAN TERTINGGI

Jika ditanya apa pendidikan sebenarnya, maka jawabannya bisa berupa-rupa. Namun idealnya tetap mengacu pada UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu:

Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya sehingga memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan oleh dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.12

Wah, ideal sekali ya. Tapi bagi saya pribadi pendidikan bukan hanya sekedar untuk mencari kerja semata. Ada tugas yang lebih bermakna dari itu. Pendidikan merupakan alat untuk menciptakan, memajukan sekaligus menjaga peradaban manusia. Dan generasi bangsa ini perlu mengecap pendidikan sebab di tangan mereka keberlangsungan dan eksistensi negeri Indonesia Raya Tercinta ini dipertaruhkan. Di pundak2 mereka tanggungjawab, amanah, tugas perkembangan dan kesejahteraan tanah kaya ini digenggam.

Lalu akan dibawakah kemanakah pendidikan Indonesia ini? Yang lebih baik pastilah. Dan menuju kesana dibutuhkan cara-cara baik pula. Tak cukup hanya niat, meski dengan kekuatan terbatas, harus tetap melakukan perubahan. Perlu tekad yang tidak hanya bulat, tapi juga kuat dan terintegritas satu sama lain. Yah, semoga dengan kontribusi kita, sesederhana apapun itu, bisa memberikan sedikit binar pada gemintang pendidikan anak bangsa.

***

SUMBER BACAAN:

1. (http://www.sonermax.com/showthread.php?t=74)

2. (http://t4belajar.wordpress.com/2009/04/24/pendidikan-indonesia-ranking-109-malaysia-61/)

3. (http://t4belajar.wordpress.com/2009/04/24/kualitas-pendidikan-indonesia-urutan-ke-160-dunia/)

4. (http://ganis.student.umm.ac.id/2010/01/26/mahalnya-biaya-sekulah-di-masa-sekarang/#more-3)

5. (http://t4belajar.wordpress.com/2009/04/24/pendidikan-indonesia-ranking-109-malaysia-61/)

6.(http://km.itb.ac.id/web/index.php?option=com_content&view=article&id=80:pendidikan-di-indonesia&catid=63:diskusi-isu-pendidikan&Itemid=109)

7. (http://t4belajar.wordpress.com/2009/04/25/education-system-of-finlandia/)

8. (http://edukasi.kompas.com/read/2009/09/28/20192588/Dinas.Pendidikan.Perlu.Fokus.pada.Penataan.Guru)

9.(http://www.news.id.finroll.com/news/14-berita-terkini/49660-____depdiknas-buat-terobosan-di-bidang-pendidikan____.pdf)

10. (http://t4belajar.wordpress.com/2009/04/24/negara-dengan-kualitas-pendidikan-terbaik-di-dunia/)

11. (http://www.danironniem.com/2009/06/buku-seni-mengajar-dengan-isi.html).

12. (http://duniapendidikan.wordpress.com/2008/01/28/kepribadian-pendidikan-indonesia/#more-15)

Thursday, April 22, 2010

KOMPETIBLOG Indonesia Berprestasi

Hmm...ada lagi neeh sasaran buat mengasah kemampuan menulis: menyeimbangkan logika dan rasa. Temanya tentang "Pendidikan Indonesia: mau dibawa kemana??", sebagai org pendidikan dan berpendidikan (halaahhh iyah gitu? ya ngarep mode: on ga dilarang kan, hehe) sepertinya perlu menuangkan ide di kepala ini dalam kompetisi itu. Hmm yaa meskipun mungkin ga bisa membawa perubahan yg banyak buat kondisi pendidikan Indonesia yg masih saja bermuram durja, tp seengganya bs memotivasi diri sendiri untuk berbuat lebih baik lagi soal mengajar dan mendidik anak bangsa. That's the important one...

Sebab di tangan generasi penerus itulah keberlangsungan dan eksistensi negeri Indonesia Raya Tercinta ini dipertaruhkan. Di pundak2 merekalah nantinya tanggungjawab, amanah, tugas perkembangan dan kesejahteraan tanah kaya ini digenggam. Dan untuk menjalankan itu semua, apakah bs tanpa melibatkan pendidikan?? Apa mungkin berbicara di kancah dunia demi memajukan bangsa ini tidak dengan pendidikan??

Silakan dipikirkan jawabannya ya hehe...Kunjungi juga situs Indonesia Bersatu untuk informasi lebih lanjut.

Monday, April 19, 2010

CATATAN RINDU UNTUK AYAH

Catatan untuk ayah juara 1 di dunia saya…

***

-Pagi itu di kelas 4 sebuah sekolah dasar-

“A…Ayah…Ayahku seperti matahari.” Ryan memulai, meski apa yang ia katakan berbeda dengan yang ia tulis. Saat itu kebetulan ia melihat jendela yang memantulkan sinar matahari. Seluruh isi kelas memusatkan penglihatan dan pendengaran mereka pada sosok yang tengah panas dingin di depan kelas itu. “Matahari…yang setiap hari menyinari kami dan menghangatkannya.” Lanjutnya puitis. Teman-temannya semakin khusyuk mendengarnya. Mereka pikir bagus apa? Hati Ryan berkomentar. Oh My God, help me.

Kepala Bu Afiah mengangguk saat Ryan menoleh kearahnya, meminta Ryan meneruskan ceritanya tentang ayah. “Walaupun lelah, tapi tak dikatakannya. Ia terus bersinar. Tanpa pernah mengeluh dan meminta imbalan. Setiap hari bekerja dengan mesin-mesinnya yang hampir membuat telingaku tuli. Bla…bla…,” Ryan melanjutkan kalimat-kalimatnya. Seperti disihir, kalimat-kalimat itu begitu saja meluncur dari mulutnya.

“Ya…ayahku seperti matahari.” Ryan membungkukkan badannya. Memberi hormat. Menandakan ceritanya telah ia selesaikan.

Plok…plok…plok…

***

Sepenggal cerita pendek yg saya dedikasikan untuk ayah dari sejak kapan tau. Malam itu tak sengaja terbuka, saya baca ulang, dan tiba2 saja saya jadi merindukannya. Ayah, apa kabar?? Smg Alloh paring aman, mudah, selamat, lancar, baroqah yah…

“Apa yg bisa aku banggakan dari ayah??” ada pertanyaan itu dalam cerpen saya. Dan itu memang pertanyaan saya ketika duduk di bangku kelas 4 sekolah dasar. Pertanyaan itu tidak serta merta muncul, saya melihat teman2 saya yg begitu membanggakan ayahnya. Ada yg seorang Polisi, Hakim, Camat, bahkan Wakil Bupati. Sementara ayah saya, ayah hanya seorang pekerja serabutan biasa. Tapi saya tak ambil pusing, saya bahagia2 saja, pun ketika diantar naik sepeda sama ayah, sementara yg lain keluar dari mobil2 yg saat itu mewah sekali.

Saya memiliki masa kecil yg sederhana namun bahagia, punya banyak mainan, banyak dibelikan sandal2 lucu sama ayah, diajak keliling Jakarta, sebab saat itu ayah bekerja disana. Saya juga senang kalo punya banyak PR, apalagi keterampilan, sebab ada ayah. Ayah jagonya gambar, apa aja bisa. Yaiyyalah calon sarjana teknik sipil yg ga lulus, sebab keburu nikah sama ibu, belakangan ini yg jadi salah satu nasihat ayah: kalo mau menikah silakan, mbak, asal jgn ganggu kuliah, hehe…Ayah yg lihai membuat kerajinan dari kayu, yg punya banyak wawasan mulai dari pembuatan telur asin sampai perundang2an, yg fasih berbahasa inggris sehingga ketika masuk smp saya sudah bisa sedikit2.

Ayah yg ga suka rewel soal makanan, yg selalu bertanya “sudah makan, mbak?”, yg ga pernah lepas sholat malam dan mendoakan saya, yg selalu berpikir positif terhadap sesuatu bahkan ketika ponselnya diambil oleh teman baiknya sendiri, ayah hanya mengatakan, “mungkin orgnya sedang butuh, yaa smg manfaat saja hapenya.”Ayah yg selalu kasih dukungan ketika saya jadi sasaran kebencian org sebab gaya mengajar saya yg beda. Ayah yg mengajarkan saya untuk mendoakan baik pada semua org, bahkan mungkin yg membenci saya, sebab “doa baik itu akan berbalik pada yg mendoakan”, kata ayah sambil tersenyum.

Ayah yg ga pernah bilang ‘ga’ setiap kali saya minta antar kesana kemari, padahal pesanan kursi-lemari-kusen sedang banyak2nya. Ayah yg selalu berkata, “ikhlas dan sabar ya, mbak…” ketika saya mulai rewel dgn rutinitas yg saya jalani. Ayah yg selalu bangga dgn prestasi sederhana saya dan selalu mengacak rambut saya sambil bilang, “duh anakku, bangga aku…”

Ayah yg selalu ada untuk perjalanan Rangkas-Cipanas (tempat kerja saya dulu), yg ga pernah bosan melalui jalan2 Rangkas-Serang (ke terminal Pakupatan menuju Bandung), yg menawarkan diri mengantar di perjalanan Rangkas-Labuan (silaturahim ke seorang sahabat), yg mendampingi saya berangkat ke UNJ, Rangkas-Jakarta, untuk wawancara beasiswa. Aahh ada banyak aspal2 jalan dan kerikil kecil serta pohon2 rindang yg jadi saksi dari perjalanan kita ayah…saat hujan dan kita hanya punya satu setel jas hujan (saya atasannya, sementara ayah bawahannya), ketika terik yg memanggang permukaan tanganmu yg sudah kelam itu, waktu angin kencang dan motor terasa berat ditunggangi. Banyak musim yg kita lalui ayah dalam tawa bersama, keriangan, kadang sedih, konyol.

Ayah…saya bersyukur menjadi salah seorang puterimu, menjadi bagian hidupmu sejak hampir 25 tahun silam. Dan kebanggaan saya pun tak bisa luput dari hati ini. Ayah yg rajin tilawah, yg rajin shaum abi daud (belakangan saya ikuti juga), yg supel sama banyak org, yg selalu ramah dan punya banyak cerita, yg selalu nasihat ini itu, yg ga pernah absen mengingatkan untuk sambung ngaji, yg ga pernah bosan nyuapi adik bungsu saya yg manja (kadang suapannya jg masuk ke mulut saya), yg bs kasih masukan tanpa memaksakan ketika saya bingung dgn beberapa pilihan.

Banyak kata untuk ayah yg tak bisa satu2 saya urai. Untuk kesetiannya pada ibu, untuk kebijaksanaannya menjadi imam keluarga, untuk waktu2 perenungan yg dilakukannya sehingga dari hari ke hari ayah saya semakin bijak, untuk keikhlasannya pontang-panting demi mencukupi finansial keluarga, untuk usaha kerasnya belajar dari org lain dan menyampaikan dirinya menjadi seperti yg sekarang: wiraswasta kayu, untuk nasihat2 membangunnya pada saya, untuk waktu selepas maghrib yg biasa kami gunakan untuk bertukar cerita seharian, untuk cerita2 lucu sebelum tidurnya (termasuk cerita tentang Nyai Roro Kidul dan Paman Klentengan Sapi, dua cerita favorit saya), aahh…jadi sangat merindukannya.

Saya rindu ayah, rindu dgn wajahnya yg mulai menirus, rindu rambut hitam agak merahnya namun kini sudah menyembul beberapa rambut putih (haha u are going older dad…), rindu caranya berjalan, rindu ketika ayah tersenyum, rindu waktu ayah bikin rendang, rindu lihat ayah menggoreng kacang di H-2 Lebaran, rindu suara ngajinya, rindu semuanya…

Ayah…meski namamu disebut di paling akhir oleh nabi setelah ibu, namun doa2 ketika sujud ini tak pernah berakhir menggemakan namamu. Salah satu pinta doa saya pada Tuhan, smg IA menjadikan saya anak sholehah, yg doanya selalu sampai padamu dan ibu, sampai kapanpun, tak akan usang, bahkan ketika jiwa terlepas dari raganya.

Ayah, kau ayah juara 1 untuk dunia saya, sama halnya ayah juara 1 Ikal pada ayahnya. Banyak cinta untuk ayah matahariku dari mbak Ina…alhamdulillahi jazakallohu khoiro ayah, buat semua pancaran cinta yg tak pernah habis itu…miss u dad

Tuhan tolonglah sampaikan sejuta sayangku untuknya –TIC Band (Adaband –red) & Gita G.

Saturday, April 10, 2010

Belanda dalam Batas Mimpi Kami, Para Anak Pribumi



Als ik eens Nederland was – Ki Hajar Dewantara

Seandainya Aku seorang Belanda. Mulanya hanya sebuah tulisan sederhana di sebuah brosur. Penuturannya pun lembut, santun, tak ada nada-nada amarah pun makian, namun sukses menghardik cara berpikir pemerintah kolonial Belanda yang ketika itu diterbitkan oleh Comite tot herdenking van Nederlandsch Honderdjarige Vrijheid atau yang dikenal dengan Komite Bumiputera. Dan tulisan itu diyakini sebagai tonggak dimulainya ‘masa tidur panjang’ bangsa kita.

Adalah ia, seorang bangsawan di Hindia-Belanda yang rela menanggalkan nama Raden Mas-nya lalu menghujamkan diri di dunia pengajaran dan pendidikan yang kemudian dikenal sebagai Ki Hajar Dewantara. Ia berhasil menohok orang-orang Belanda dengan tulisannya yang luwes namun ganas itu tepat di jantung mereka.

Sebenarnya tulisan itu sebuah sindiran bagi orang-orang Belanda yang ketika itu mengajak rakyat Hindia-Belanda yang terjajah untuk merayakan kemerdekan tuannya sekaligus mengajak mereka memberikan sumbangan uang sukarela untuk biaya perayaan itu (ohmaygot!!).

Begini Ki Hajar Dewantara menulis:

“Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi tidak pantas untuk menyuruh si penduduk pedalaman memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Pikiran untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghinakan mereka, dan sekarang kita membongkar pula koceknya. Ayo teruskan penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda. Apa yg mengyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku terutama ialah kenyataan bahwa bangsa penduduk pedalaman diharuskan ikut mengkongsi suatu pekerjaan yang ia sendiri tidak ada kepentingan sedikit pun.”


Dan hasilnya beliau di buang ke Belanda. Namun kawan, pembuangan bukanlah jalan nista bagi seorang Guru Besar macam Ki Hajar, justru disanalah hasrat menambah pengetahuannya dalam bidang pendidikan semakin tak karuan, menggila, sebagai hasilnya beliau mendapat akta guru pada tahun 1915. Dan orang2 yang berkeyakinan: dimulainya tulisan Ki Hajar yang demikian sebagai mulai tertidurnya bangsa kita, mereka SALAH BESAR.

***

BELANDA YANG MINI DENGAN SEJUTA MIMPI

Sama halnya dengan Ki Hajar dalam masa pembuangannya di Belanda (1913-1919) yang semakin melambungkan mimpinya untuk mencerdaskan diri demi memajukan anak negeri, saya pun terinspirasi demikian. Menyulam mozaik demi mozaik mimpi hingga menjadi sebuah puzzle yang utuh. Siapa coba yang tak mau menginjakkan kaki di negeri mini itu demi mewujudkan sejuta mimpi? Ya paling tidak untuk sebuah mimpi: menimba ilmu di Belanda yg terkenal dengan kualitas pendidikan dengan standar internasional yang baik. Tapi tentu mimpi itu perlu ditebus dengan harga yang tidak cuma-cuma. Selalu ada pengorbanan dibalik setiap perwujudan mimpi. Kalau meminjam kata-kata Arnold Schwarzenegger, “No pain, no gain”.

Seperti Ki Hajar yang harus merasakan dibuang dulu sebelum akhirnya berkenalan dengan gagasan-gagasan tokoh-tokoh pendidikan dunia seperti JJ Rousseau, Dr Frobel, dr Montessori, Rabindranath Tagore, John Dewey, dan Kerschensteiner. Tapi mungkin kalau kita ga harus menunggu dibuang dulu kali ya untuk bisa ke Belanda, salah duanya yaitu cukup punya score TOEFL yang disyaratkan dan kemampuan akademik yang mumpuni. Jadikan dirimu pilihan. Untuk saat ini kesampingkan dulu kata-kata Iwan Fals soal ‘aku bukan pilihan’. Sebab hanya mereka yang terpilih yang bisa menghirup udara Belanda.

BELANDA YANG BIKIN IRI

Yaaahh Belanda memang patut dijadikan sasaran iri. Belanda yang meski memiliki area mini (46 kali lebih kecil dari Indonesia; total daratan Indonesia sekitar 1.922.570 km², sementara Belanda hanya 41.256 km²) namun menyembunyikannya dengan kemajuan teknologi dan peradaban ilmu yang luar biasa hebatnya. Belum lagi penjuru-penjuru kota yg manis, teratur, bersih sebagai sasaran pose narsis para pendatang, termasuk mahasiswa-mahasiswa Indonesia disana, haha. Belanda yang orang-oranganya kadang dijuluki stereotype orang pelit karena motto ‘elk dubbeltje omdraaien’-nya (putar koin dua kali sebelum berpikir untuk membelanjakannya –red), yng toh pada akhirnya membuktikan bahwa kebiasaannya berhemat itu bisa membuat mereka maju seperti sekarang.

Belanda yang begitu fanatik dengan budaya sepedanya sehingga menjadikan negeri tersebut identik dengan negeri sepeda, benar-benara menjaga tradisinya sampai saat ini, bahkan diberikan jalan khusus untuk pengendara sepeda: Fiets Pad, dan hasilnya selain bisa sehat dan irit, mereka pun menjadi salah satu negara yang perlu dicontoh dalam upaya memelihara bumi dengan meminimalisir penggunaan kendaraan-kendaraan bermotor yang memroduksi asap. Belanda dengan banyak festival-festival acara lucu nan keren. Negeri yang punya banyak universitas-universitas bagus di rating dunia. Negara yang meski dulunya harus bersusah payah menimbun lautan untuk dijadikan daratan namun kini menjelma menjadi salah satu acuan untuk pendidikan dan perkembangan pengetahuan.

Belanda yang punya 2 bendungan megah nan gagah yang keberadaannya ditasbihkan sebagai tameng setiap badai lautan dan banjir bandang. Afsluitdijk (panjang 32 km, lebar 90 m, tinggi 72,5 m dari permukaan laut) dan Delta Works (total panjang 16.500 km, terdiri dari 2.420 km bendungan utama dan 14.080 bendungan sekunder) bertengger kokoh menghadang setiap ancaman banjir. Tidak hanya itu, keduanya disebut-sebut sebagai mega proyek yang dipercaya menjadi salah satu keajaiban konstruksi raksasa dunia, bahkan Delta Works dianugerahi predikat sebagai satu dari tujuh keajaiban dunia modern versi American Society of Civil Engineers karena pengontruksiannya yang memakan waktu hampir 5 dekade dan menjadi salah satu pembangunan terbesar peradaban manusia modern.

Belanda yang menerapkan standard social service dan social security yang biayanya diambil dari pajak masyarakat berkisar antara 30 % sampai 60 % penghasilan. Belum lagi pajak rumah/lahan, air, energi, dan lain-lain yang dipungut setiap tahun. Ga heran kalau di Belanda tidak dijumpai orang yang sangat miskin hingga harus mengais2 makanan di tong sampah jalanan, sebab orang-orang yang tidak mampu disana diberi tunjangan yang berasal dari pajak masyarakat itu. Belanda dengan pelayanan masyarakat yang tergolong profesional sebab tenaga manusia-nya dibayar pantas, mulai dari buruh kasar seperti pengangkut sampah sampai profesi dokter.

Hmmpph…mengelus dada dan mencoba meredamkan riak-riak iri dalam hati pada negeri mini itu. Bisakah bangsa kita bercermin sedikiiit saja dari mereka? Dengan berjuta keindahan dan kekayaan negeri Indonesia ini, tak cukupkah bisa membuatnya merengsek naik pada level negara maju, bukan yang melulu negara berkembang? Come on u young people Indonesia, Indonesia butuh kita, saya dan kamu semua. Waahh, jadi menggebu2 begini saya ya, haha…

BELANDA YANG KINI JADI SASARAN ANAK2 PRIBUMI

Kini bukan lagi hal yang luar biasa kalau Belanda jadi salah satu incaran anak-anak pribumi mengadu nasib dalam hal akademik melalui jalur scholarship yang beragam ditawarkan. Banyak jalan ke Belanda, kata mereka scholarship seeker. Beberapa informasi banyak tersebar di mesin-mesin pencari macam mbah Google dan kawan-kawannya. Seperti beasiswa StuNed, HSP Huygens Programme, Erasmus Mundus Scholarship Programme, Utrecht University Excellence Scholarship, dan masih banyak yg lainnya. Kuncinya banyak-banyak searching info-info beasiswa saja atau bertanya-tanya pada rekan-rekan yg memiliki link di Belanda.

Terakhir yang juga turut menjalin kerjasama dengan StuNed yaitu PMRI dan DIKTI yang kemudian dikenal sebagai beasiswa International Master Program on Mathematics Education (IMPoME) yang tahun ini memasuki putaran ketiga.

Ada banyak kesempatan menuju Belanda melalui jalur beasiswa. Data NESO menyebutkan, jumlah mahasiswa Indonesia di Belanda mengalami peningkatan dalam rentang waktu tiga tahun terakhir ini, yaitu mencapai 12 persen atau sebesar 53.550 orang pada tahun ajaran 2007-2008. Laporan yang serupa diperoleh dari data Nuffic yg menyatakan bahwa di tahun ajaran 2008-2009, Indonesia berada di posisi kedua dgn jumlah mahasiswa terbanyak di Belanda, yaitu 1.350 mahasiswa, setelah China yang jumlah mahasiswanya mencapai 5.000 orang, disusul India (550), Korea Selatan (450) dan Vietnam (450). Wowh!! Jadi tak perlu khawatir kita akan sendirian disana. Yang paling utama adalah siapkan diri, terutama persyaratan bahasa, sehingga ketika tawaran itu datang, kita sudah siap melenggang dengan matang.

BELANDA YANG TAHU BALAS BUDI

Mungkin salah satu balas budi Belanda atas Indonesia yg sudah ‘legowo’ menjadi sasaran jajahan yang sangat lama itu adalah terbukanya kerjasama yang bagus di bidang pendidikan. Banyak pihak dari Belanda maupun Indonesia yang menjalin hubungan satu sama lain untuk berbagi kemajuan. Dan tentu saja ini jadi peluang besar bagi pelajar Indonesia untuk ‘mengeksploitasi’ Belanda sebanyak-banyaknya. Apalagi sistem pendidikan Belanda, menurut beberapa penelitian kabarnya menunjukkan bahwa mereka yg pernah studi di universitas/institusi pendidikan tinggi Belanda memiliki kinerja yang sangat baik di manapun mereka berada (meng-amin-i dalam hati).

Salah satu contohnya mungkin Ki Hajar Dewantara itu. Hasil belajarnya di Belanda dipraktekkan dengan membuka sekolah Tamansiswa. Memosisikan anak sebagai figur sentral dalam pendidikan dengan memberikan kemerdekaan sepenuh-penuhnya untuk berkembang itulah ide dasar pengembangan konsepsi Ki Hajar. Peran guru hanya membimbing dari belakang dan baru mengingatkan anak kalau sekiranya mengarah kepada suatu tindakan yang membahayakan (tutwuri handayani) sambil terus membangkitkan semangat dan memberikan motivasi (ing madya mangun karsa) dan selalu menjadi contoh dalam perilaku dan ucapannya (ing ngarsa sung tuladha).

Hmm…berapa lama saya menulis ya? (menengok jam dinding sebentar) Setelah saya baca ulang, saya jadi semakin cinta dengan Indonesia, dan ingin meninggalkannya…sesaat. Bukan untuk meninggalkan selamanya, tapi demi sebekal modal untuk acuan mengembangkan bumi pertiwi ini. Sebab Indonesia terlalu indah untuk diabaikan. Sebab Indonesia begitu memesonakan untuk tidak diindahkan. Sebab disinilah tempat pengabdian saya, tanah yang susah payah dimerdekakan mereka-mereka yaneg berjuang dengan harta, jiwa, dan raga.

DI INDONESIA RAYA TERCINTA.

***

ps. dari berbagai sumber bacaan: mulai dari koran baru, lusuh, lecek, bekas sampe buku sejarah, ada juga cerita ayah, curhatan teman-teman, baca-baca majalah online, blog-blog teman, etc.

MATEMATIKA, CINTA, DAN BELANDA



Only a life for other is a life worthwhile – Albert Einstein



Hidup akan berharga jika bermanfaat untuk orang lain, begitu kira-kira yang bisa saya tangkap dari quote seorang Albert Einsten. Hmm agak lama saya merenunginya, lalu bertanya-tanya pada diri saya sudahkah saya bermanfaat untuk orang lain? Haha…tertawa dalam hati, bisa-bisanya saya berpikir demikian padahal saat itu sedang workshop education dengan 2 orang nederlandher, Jaap den Hertog dan Aad Godjin. Jangan salahkan saya, kalau bisa salahkan kedua orang itu yang membuat pemikiran ini muncul. (lho?) Haha…

***

IN THE BEGINNING

Pagi itu, hampir enam bulan lalu di tahun 2009, kelas kecil kami di salah satu universitas negeri di Surabaya kedatangan 2 tamu istimewa, dosen dari Fruedenthal Institute milik Utrecht University dgn membawa sesuatu untuk kami. Siapa coba yang tak bisa menahan perasaan senang akan bertemu 2 orang bule Belanda dengan sekotak oleh-oleh yang manis?? Hmm…kontan semua girang, deg-degan dengan hari yang dimaksud. Sekaligus susah, sebab tugas awal yang diberikan cukup ‘mematikan’, haha...jurnal-jurnal berbahasa asing yang cukup tebal yang harus dilahap sebelum keduanya masuk kelas. Satu kelemahan kami saat itu: menerjemahkan sekaligus memakmanai apa yang dimaksudkan jurnal tersebut dalam sebuah paper. Fiuuhh…

“Hello everybody!!” Katanya sambil muncul di depan pintu kelas kami. Keduanya lalu berkeliling menyalami satu-satu dari kami dengan genggaman erat dan tatapan ramah tepat di retina kami. Ketika itu saya merasakan efek yang luar biasa dari semangat Jaap dan Aad. Saya pikir hanya saya yang merasakannya, ternyata semua menyimpan perasaan yang sama. Satu poin yang kemudian saya rekam dalam benak saya: semangat itu menular.

Lalu sampailah keduanya membagi oleh-oleh pada kami. Mereka menyebutnya RME, Realistic Mathematics Education. Haha, saya pikir oleh-olehnya miniatur bangunan berkincir atau kelompen Belanda, ternyata…Tapi belakangan saya malah bersyukur, untung bukan barang-barang kecil yang bisa rusak bahkan hilang itu yg jadi oleh-olehnya, tapi sesuatu yang besar yang tidak akan lekang dan hilang dimakan jaman: ilmu.

MATEMATIKA DARI BELANDA

Semua mungkin sepakat kalau objek matematika adalah abstrak. Dan keabstrakan ini tetap ada pada matematika sekolah yang belakangan menjadi salah satu penyebab sulitnya seorang pendidik mengajar matematika.

Seorang guru matematika harus berusaha untuk mengurangi sifat keabstrakan dari objek matematika itu sehingga memudahkan siswa menangkap pelajaran matematika di sekolah. Dengan kata lain seorang guru harus mengusahakan agar fakta, konsep, operasi, ataupun prinsip dalam matematika itu terlihat konkret.

Salah satu solusi untuk mengonkretkan yang abstrak itu adalah dengan RME yanag dikembangkan di Belanda sejak sekitar 35-40 tahun lalu, berdasarkan ide Hans Freudenthal (seorang ahli matematika Belanda). Ada satu hal yng menarik dari ide Bapak RME ini, dia menyatakan bahwa matematika adalah kegiatan manusia (human activity).

Saya memandang Freudenthal sangat cerdas dalam mengutarakan idenya tersebut, sebab untuk saya pribadi, secara tidak langsung bisa menyugesti diri bahwa apa yang dipelajari di matematika tidak lantas akan berakhir dalam teori saja, tapi bisa bermakna dan bermanfaat luas bagi semesta, secara kegiatan manusia gitu, sudah pasti luaslah. Hal itu yang belakangan bisa merubah paradigma khalayak umum tentang matematika: sudah susah, kegunaannya paling cuman buat ngitung rugi-laba.

Tidak bisa dipungkiri matematika itu susah, namun kita bisa membuatnya jadi lebih mudah. Salah satu prinsip RME: menggunakan konteks nyata/real ternyata bisa dipercaya bisa membuat bayangan siswa tentang abstraknya matematika terbuka perlahan.

Suatu kali Jaap melayangkan pertanyaan yang saat itu saya dan juga teman-teman banyak yang tidak tepat dalam menjawab: what is a realistic?

Ayu: something can be touched
Jaap: oke, just it?
Nur: something can be seen
Jaap: hmm…just it? Anything else?

Bla…bla…kami mencoba ini dan itu, tapi akhirnya Jaap sendiri juga yang menjelaskan jawaban tepatnya. Jaap menerangkan, sesuatu dikatakan realistik ketika ia bisa dibayangkan oleh pikiran kita, tak jadi masalah ada barangnya atau tidak, terlihat atau tidak. Selama kita bisa membayangkannya, itu poinnya.

CINTA DARI BELANDA

Banyak makna-makna implisit dari karakteristik RME Belanda ini, yang jujur, buat saya, guna banget. Ga hanya buat orang yang nantinya menjalani profesi sebagai guru, tapi juga buat seluruh manusia: mendidik dengan hati.

Poin penting itu juga yang belakangan saya sadari sebagai jawaban kenapa gaya mengajar Jaap dan Aad berbeda dengan pengajar kebanyakan di Indonesia.

Sebab mereka menjalani praktek memanusiakan manusia, mendidik siswa dengan sikap terbuka, mengajak berkomunikasi dengan cara yang komunikatif atau dengan bahasa yang mudah dimengerti, ga perlu ribet –sederhana- tapi dalem, dan yang ga ketinggalan juga yaitu memperhatikan perasaan siswanya.


Saya jadi teringat kata-kata seorang professor yang juga terlibat dalam pengembangan RME di Indonesia mengenai cara mendidik siswa, begini katanya:

“Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, dia belajar menemukan cinta dalam kehidupannya.”

(Beliau pun mengutipnya dari sebuah quote Anonym)

MATEMATIKA, CINTA, DAN BELANDA

Itulah kenapa saya berpikir mengenai quote-nya mbah Albert. Jaap dan Aad adalah dalang utama kenapa pertanyaan itu bisa muncul dalam benak saya. Ya, mereka pelakunya. Tanpa mereka sadari, tanpa keduanya mengatakan secara langsung, namun bahasa tubuh, tatapan mata ketika berbicara, bahasa yang dituturkan, semuanya menggiring saya ke arah itu. Karakteristik pendidik Belanda dengan RME-nya yang membuat saya terus menabur benih mimpi bisa menginjakkan kaki di Freudenthal Institute.

Banyak keindahan yang mungkin ingin orang lihat, termasuk saya di Negeri Van Oranje, yang bukan hanya tempat Jaap dan Aad lahir dan besar tapi negeri dimana keluwesan bertutur serta gaya mengajar yang keren itu dibentuk. Dari sikap keduanya itu saya belajar, bercermin, betapa seharusnya orang mendidik dengan hatinya, penuh cinta dan sayang, tidak perlu yang mewah cukup yang sederhana saja, memperhatikan dan memberikan tanggapan.

Saya pernah berpikir juga, jika pemikiran RME dari Belanda itu mampu membentuk jiwa-jiwa lembut tanpa menghilangkan esensi berjuang macam Jaap dan Aad, maka Belanda bisa jadi memang pilihan tepat untuk menggali potensi tersebut, sebelum akhirnya orang-orang yang berkesempatan belajar disana kembali ke ibu pertiwi tercinta ini lalu berjuang seperti Jaap dan Aad mencerdaskan anak-anak negeri.

Bisa berguru hingga ke negeri 1000 kincir mungkin memang anugerah, namun menjadi salah satu pihak yang dapat membantu orang-orang (dalam hal ini anak-anak didik di Indonesia) memahami matematika dengan sepenuh hati itu lebih dari sekedar anugerah.

Meneruskan sekolah hingga ke Belanda bukan hanya sebait senandung ingin, bukan pula menyoal pembuktian diri yang kalau tidak disetir malah menimbulkan keangkuhan. Tapi lebih cenderung pada sebuah kata ‘mau’. Mau berkompetisi sportif, mau bersusah-susah raga dan pikir demi menggamit sukses hingga akhir semester, mau berikhlas diri ketika waktu ‘memaksa’ untuk pulang ke negeri halaman dan memuarakannya pada makhluk bernama ‘pengabdian’. Maukah??

Aahh…saya jadi merindukan Jaap dan Aad. Dua manusia didikan barat (Belanda –red) yang justru lebih timur dalam hal mendidik manusia.