RSS Feed

Wednesday, December 30, 2009

Photo di Dompet Tua

“Mbah, kelahiran tahun berapa sih??” Tanya saya suatu ketika pada mbah.

“Wah, mbah mah udah tua, kelahiran ’40.”

(hehe, yah atuh namanya juga mbah2, ya pasti udah tua…*dalam hati itu teh* eehh mbah lho yg bilang ya)

Lantas pikiran saya loncat kesana kemari, menghubungkan skema yg satu dengan yg lainnya tentang arti usia, masa tua, dan bekal menuju kesana. 69 tahun sudah mbah lalui, saya bergumam. Subhanalloh, setahun lebih panjang dari nabi.

Akankah saya tiba di masa tua saya? Menyaksikan uban2 yg kelak akan bermunculan. Memperhatikan keriput yg nantinya jadi kawan. Menikmati jerih payah muda sembari mengawasi beberapa cucu di pekarangan rumah hari tua yg damai di paris van java.
Hahaha…meuni jauh pisan atuh neng…

Saya tertawa, tapi dengan kesadaran tinggi. Suatu hari mungkin saya akan menjadi mbah seperti mbah saya sekarang. Tua, berkacamata, jalan kadang dituntun pula. Tapi menjadi seperti itu tidak lantas menjadikan saya khawatir yg berlebihan, seperti phobia terhadap kaca misalnya sebab ga tahan kalo liat keriput di sekitar wajah, atau ketakutan saat pergantian usia tiba, atau menggunakan cream anti aging yg ngga kira2 dengan harapan bisa memperlambat penuaan di muka. Hehe…

Saya juga sadar bahwa
menjadi tua merupakan tahapan yg tak terelakan sesudah masa muda, tentu dengan catatan jika Tuhan masih berkehendak memanjangkan bilangan usia saya di bumiNYA. Tapi sekarang masalahnya bukan berada pada seberapa tua saya dan sedekat apa saya dengan masa itu. Hal yg lebih utama untuk dipikirkan adalah sesadar apa saya dengan masa muda saya dan apa yg bisa saya ukir di masa itu sehingga keberadaan saya benar2 bisa diperhitungkan dan tidak sekedar sebagai figuran yg hanya sekali dua kali jalan. Tapi poin besarnya adalah pada optimalisasi kemampuan yg saya genggam, bukan pada arogansi diri ingin dilihat dan dielu2kan.

The emphasis is in my consciousness, bahwa saya harus bisa berkontribusi pada dunia yg menjadikan saya ada. Tidak hanya sekedar ingin. Tapi mimpi yg tak punya pilihan untuk tak diwujudkan. Baik dengan tindakan yg bisa dilihat secara kasat mata atau yg hanya mampu dirasa oleh hati saja.

Finally I myself, once again, can’t deny, because there’s no denying, I have no idea to make an alibi, that the days I have are really priceless. Sangat memungkinkan bagi saya memberi andil pada bumi yg makin hari menjadi tua ini. Saya bersyukur dengan masa muda saya, meski tak semuanya indah dan sesuai asa. Setidaknya banyak hal yg saya alami, banyak hal yg saya jumpai.
Semua itu memaksa saya untuk tidak hanya mampu mengamati tapi sekaligus supaya mengerti, memahami, hingga kemudian mensyukuri.

So Rina…come on, act your age!! (hehe…Rina said to herself to stop behaving like someone who is much younger, because she is really beginning to feel her age = feel old, wkwkwkwk)

And…I’m starting to show my age then…

Sejurus saya jadi teringat mbah, belakangan jadi sangat bersyukur, sebab saya masih bisa lari2, loncat2 sana sini, jalan cepat sesuka hati, bahkan mau kombinasi jalan sambil lari juga ga akan kewalahan bakal sakit kaki. Pun masih bisa nuntun si mbah yg katanya sudah jadi nini2 (
hehe, si mbah mah angger, da namanya juga mbah2 ya pasti nini2 juga lah…).

Saya bersyukur masih dikelilingi orang2 baik, yg masih menyisakan ingatannya untuk saya, yg ga bosan membaitkan doa2 tulus buat saya, yg tanpa henti menyemangati semua ikhtiar saya. Membuat saya tersadar bahwa saya tidak sendirian. Dan seharusnya saya tidak pernah merasa benar2 sendirian. Ada kamu, dia, mereka, kalian, baik dengan tanda kutip ataupun tidak. Dan…salah satunya adalah si mbah…

Pokoknya mah semakin semangat saja saya menjalani hari2 yg saya miliki. Sebab keberadaan saya disini, bukan tanpa alasan, bukan dengan sesuatu yg tak berdasar. Tuhan, makasih untuk hari kemarin, hari ini, dan hari besok yg masih jadi misteri.

***

“Pokonya mba Ina harus berhasil, mbah selalu doakan buat mba Ina, nih lihat, photo mba Ina selalu mbah bawa kemana2…”

Mbah puteri mengeluarkan dompet tuanya, warna merah yg sudah agak memudar pula, dan…aahh benar, ada photo saya disana…
my tears was falling then…

Tuesday, December 29, 2009

Sejuta Rindu Buat Ibu

Mamah : neng janten meser printer kangge leptop teh??
(neng jadi beli printer buat leptopnya?)

Neng : muhun mah, janten, da ieu oge nuju milarian.
(iya mah, jadi, ini juga lagi nyari)

Mamah : sabarahaan kitu neng?? Bade nu kumaha??
(berapaan gitu neng? mau yg kaya gimana?)

Neng : ah nu mirah wae mah, nu sederhana.
(ah yg murah aja, yg sederhana)

Mamah: cekap teu neng artosna??
(cukup ngga uangnya?)

Neng : cekap mah, sapalih ngangge artos beasiswa da.
(cukup kok, sebagian pake uang beasiswa)

Mamah : nya entos atuh upami nuju milarian mah, tong hilap emam nya.
(ya udah kalo lagi mencari, jangan lupa makan ya)

Neng : muhun mah, insya Alloh.
(iya mah, insya Alloh)

***

Percakapan ibu-anak yg saya tangkap beberapa waktu silam. Sudah lama sih, dua tahun lalu mungkin, tapi seketika teringat, entah kenapa. Apa karena saya rindu ibu ya?? Aahh…ibu, kata apa yg bisa menggambarkan sosokmu, malaikatkah? Hmm…tidak, tidak pas (sambil menggeleng2 kepala). Kenapa? Iya, jika malaikat digambarkan seperti sosok yg berbinar, maka binar ibu melebihi binar yg bisa dipancarkan malaikat. Jika malaikat dipredikatkan sebagai makhluk yg menjaga, maka penjagaan ibu lebih menyemesta daripada penjagaan malaikat, sebab ibu punya kartu matinya: doa.

Tentarakah? Hmm…ini juga tak tepat (sembari mengerutkan dahi: berpikir). Jika tentara diidentikkan dengan kegagahan dan kegigihannya membela tanah air, maka kehebatan itu tak mampu melampaui kepunyaanmu ibu. Gagahmu dalam menawarkan lengan, membuat saya nyaman dalam dekapan, memastikan tak ada satu pun yg mengganggu ketenteraman. Gigihmu saat meyakinkan saya tentang mimpi2, mengejar pelangi hingga ke ujung bumi, menghampiri matahari bahkan ketika ia tak menyinari.

Dewi dari kahyangankah?? Haha…saya tertawa, bukan ini juga. Jika dewi2 itu punya kelembutan seperti sutera, maka yg kau miliki tak bisa jadi tandingannya ibu. Too far. Because your heart is so special. Filled with sensitive emotion, yg bisa selalu jadi tempat aduan dan merebahkan kepala di pangkuan. And wherever life will take me, I’ll always have your deep devotion.

Hmm…seperti apa lagi ya?? Aahh ibu, seberapa pun banyak sosok2 hebat yg berkelebihan, tetap ibu yg jadi jagoan. Keberadaanmu seperti udara bu. Syarat perlu dalam dunia saya yg mejikuhibiniu. Cintamu, airmatamu, perhatianmu, peluhmu, darahmu, doamu, sungguh tak mampu kuganti dengan apa tak tahu. Hanya bisa sampaikan pesan pada Tuhan pemilik rindu, siapkan satu tempat terindah di SurgaMU untuk ibu.

Can’t say anything other than Alhamdulillahi jazaakillahu khoiro ibu… for everything you have gave to me…

***

Klik (telepon ditutup dari seberang sana)

Teman Mamah : si neng bade meser naon bu??
(si neng mau beli apa bu?)

Mamah : printer leptop saurna mah.
(katanya printer leptop)

Teman Mamah : oh, nu kumaha printer leptop teh?? Sami teu sareng printer komputer??
(oh, yg kaya gimana printer leptop itu? Sama ngga dengan printer komputer?)

Mamah : hmm…beda penginten, da leptop oge beda sareng komputer, upami printer leptop mah panginten tiasa dicandak kamana wae.
(hmm…sepertinya beda, kan leptop juga beda sama komputer, kalo printer leptop mungkin bisa dibawa kemana aja)

Teman Mamah : naha tiasa kitu??
(kenapa bisa begitu?)

Mamah : pan leptop na oge tiasa dicandak kamamana.
(kan leptopnya juga bisa dibawa kemana2)

Teman Mamah : ohh…??*&^%$#@

***

Ibu, miss u so ^^
I’ll do my best…

Monday, December 28, 2009

Wajah2 di Sudut Hati

Intro lagu yg diawali dengan dentingan tuts piano ini membuat saya tercenung barang sesaat. Berpikir sejenak, kemudian tertawa tanpa terbahak. Saya mengingatmu, mengingat dia, mengingat kalian. Wajah2 yg selalu hadir di empat tahun kehidupan saya dan untuk seterusnya di sisa usia saya. Dan kebersamaan itu telah mengukuhkan segenap jiwa dan raga saya untuk mengklaim kalian dengan sebuah predikat: SAHABAT.

Tak hanya soal akademik yg kalian tahu tentang saya, tapi semua. Kelebihan saya, kekurangan saya, bahkan kebiasaan saya yg setengah mati saya sembunyikan, kalian tetap tahu. Tak hanya tawa yg kalian urai untuk saya, tapi duka pun kalian pecahkan menjadi titik embun yg menyejukkan jalan saya. Setiap kejadian yg menghadirkan lengkung senyuman atau tangis yg membuat langkah kita terhenti sejenak, semua itu membuat saya makin menyadari betapa berharganya kebersamaan dengan kalian. Bahkan saat kita jauh sekalipun, entah ketika ada sesuatu yg tak berada di tempatnya, saya merasakannya. Terlepas saya kalian ingat atau sebaliknya, terlupakan.

Kemudian, hati saya bertanya,
Tuhan sebegitu hebatkah ikatan ini hingga yg tak terkatakan pun saya merasakan??
Inikah wujud robithoh2 itu??
Beginikah efek menghadirkan wajah2 mereka dalam doa dan sujud saya??


Lalu ada perasaan bersalah ketika sekian lama saya tak mengetahui kabar wajah2 itu. Apa yg terjadi pada mereka, bagaimana kondisi ruhiyah dan jasadnya, semuanya. Namun, percayalah wajah2 teduhmu, dia, dan kalian, tak mungkin luput dari lisan ini. Melafadzkan nama2 kalian sudah menjadi rutinitas, dan mengubah rutinitas itu sama saja menawar bumi agar berhenti memutari matahari. Haha…terdengar berlebihakah?? Ahh biarkan saja.

Kamu tahu, sahabat, menyejajarkan langkah saya dengan langkahmu tak semudah yg saya duga. Butuh energi berlipat mengejar kalian, agar saya menjadi bagian dari kalian, supaya saya bisa merasakan semangat yg luar biasa yg kalian pancarkan. Pastinya saya memerlukan kesabaran tingkat tinggi yg terkadang berbanding terbalik dengan ekspektasi. Tapi lantas saya tak peduli dengan seberapa waktu yg saya sisihkan untuk berjuang bersama kalian. Tak selintas pun terpikir menghitung banyak tenaga yg saya keluarkan untuk berlari bersama kalian. Cukup, cukup Tuhan yg mengetahuinya. Iya, cukup DIA saja yg menjagakan apa yg saya rasa agar berada tetap di tempatnya, tanpa cacat.

Bahkan ketika saya menyadari saya sakit hati dengan sikap kalian. Saya kalian abaikan. Atau dilupakan. Atau apalah yg menuai protes di hati dan tak sejalan dengan harapan. Seketika saya marah, tapi kemudian saya tertawa, haha…begini rasanya menjalani persahabatan yg sesungguhnya. Tak selalu bahagia yg jadi latar, melainkan ketidakenakan keadaan pun menjadi harga yg tak bisa ditawar. But, you have seen it, semua itu justru mengokohkan kaki kita, bukan menceraiberaikan. And even we more close to each other.

Saat kita berbeda pendapat. Satu sama lain mengusung dan mempertahankannya dengan banyak argumen logis yg tak jarang bikin kita diem2an. Sampai2 ada yg ga mau saling menatap. Oke, we need time to figure out anything yg datang mendadak ke hidup kita. Kita sudah mengerti satu sama lain bahwa masing2 kita butuh ruang untuk berpikir sendiri, bahkan ketika saya menghilang, kalian tahu dimana menemukan saya: toilet JICA lt1.

Kita sama2 mengerti bahwa kita punya cara masing2 menjernihkan benak yg kacau. Mencoba meredam sendiri energy negatif agar tak menular pada yg lain. Ahh sahabat…tak akan habis waktu saya menggambarkan tentangmu, tentang kebersamaan kita, tentang amarah yg diakhiri dengan tawa, tentang ilmu2 kehidupan yg satu-satu telah kita catat rapi di benak dan hati kita, tentang kedewasaan bertindak menghadapi apapun dan siapapun, tentang…semua.

Pernah bertanya kenapa kalian dipertemukan dengan saya, dengan dia, dengan mereka?? Pertanyaan itu yg akhir2 ini bertengger dan terperangkap selama beberapa saat di kepala saya. Hingga saya menemukan alasannya, dari versi saya sendiri. Kalian hadir bukan suatu kebetulan untuk hidup saya. Nothing happens by chance. Alloh sudah menakdirkan saya bertemu kalian. Memperbaiki diri dengan bantuan kalian. Mendekatkan langkah padaNYA lewat kalian.

Kalian juga bukan seorang figuran di scene hidup saya, yg hanya sekali lewat, yg diabaikan setelah tak terpakai. Bukan. Kalian adalah pemeran utama dalam cerita saya. Meski harus ada tangis, kecewa, konyol, marah, dzon2, etc. Namun kawan tahukah yg menjadikan semua indah hal2 tidak indah itu menjadi indah?? Sebab pertemuan kita dilandasi oleh cintaNYA, cinta kepadaNYA. Setelah itu habis perkara.

Done.

***

Saat mendengar alunan “Bersamamu”-nya Vierra…hahaha berasa teenager euy!! Aah bae aah…

Guys…we grew up!! And become an adults is not easy, but it’s not a reason to make it easier…Love u guys, with all of my soul…^^

Sunday, December 27, 2009

LUPA...dgn Di-kan dan Me-kan

Bagaimana rasanya dilupakan??

Sebuah pertanyaan mampir di benak saya suatu ketika, saat mata saya tertumpu pada sebuah bayangan yang tak saya kenal.

“Waahh…tega banget deh yg ngelupain saya, terlebih kalo saya udah baik sama dia,” jawab seorang teman.

“Hmm…kalo ada alasan yg masuk akal dan logis knp seseorang ngelupain saya, yaa saya mah terima aja lah. Tapi knp harus dilupain sih?? Ga enak tau digituin…,” tukas seseorang lugas.

“Meureun ga bermaksud melupakan, tapi da kumaha upami dianya terserang pirus vikun mah…itu mah sudah takdir kale yee…hehehe,” yg lain berkomentar lain.

“Kalo menurut saya, dilupakan memang tidak mengenakan, baik dengan tidak sengaja apalagi sengaja, sungguh menohok. Tapi, mungkin seseorang punya alasan sendiri knp dia mau melupakan org, dan itu hak dia, siapa gue juga larang2 dia coba, tul ga??” Pendapat yg lebih terbuka saya dengar.

“Udaaah…lupain deui weeh, hese ammat!! Masalah selesai kan??” Waah…ekstrim banget yak nih komen, ck…ck…(sambil menggeleng2kan kepala dan mengurut dada).

***

Kemudian saya terpekur. Memikirkan jawaban2 org2 di atas, yg mungkin baik secara sadar atau tidak sadar telah dilupakan atau melupakan org lain. Saya mencoba memahami ketidakenakan pihak yang dilupakan, tanpa bermaksud mengenyampingkan perasaan org yang melupakan. Hmm rumit juga ya…

Kalau kamu yg dilupakan Na, gmn??

Lha…kok daku?? (sambil mendelik ke arah penanya) Hmm…jika dikembalikan pada posisi saya, mungkin iya awalnya merasa tidak enak, terlebih jika saya tak menemukan alasan jelas yg melatarbelakangi saya dilupakan. Tapi bukan jadi alasan untuk kemudian saya ikut2an melupakan org yg melupakan saya kan?? Siapa tahu dia memang punya alasan kuat melupakan saya, sakit hati misalnya, atau pemikiran yg sudah tak sejalan mungkin, atau jangan2 memang punya penyakit pikun, there are many possibilities and I couldn’t refuse it.

Sehingga saya selaku manusia yg menjunjung tinggi harkat martabat serta menghormati kebebasan berpikir dan berpendapat, insya Alloh dengan hati sukarela dan lapang dada tidak akan berkomentar panjang lebar tentang hal itu. Dengan kata lain: sabar dan menerima saja. Done. Yg penting saya jadi ga latah, ikut2an melupakan. Dan semoga saya terhindar dari persangkaan2 tidak baik yg bisa membuat saya jadi susah sendiri dan kehilangan kebarokahan Tuhan.

Kemudian saya jadi berpikir, saya harus lebih hati2 lagi kalau begitu ya. Hati2 gmn maksudnya?? Iya, hati2, harus lebih jaga sikap, jgn sampai bikin org lain sakit hati terus jadi ingin melupakan saya. Mesti bisa jaga bicara, supaya org lain masih mau mengingat saya dan melafadzkan doa2 tulus mereka buat saya. Kudu tahan banting sama kondisi yg bikin saya ga enak, malah harus bisa membuat suasana itu kembali normal, bukan sebaliknya, bikin jadi semrawut. Dan tentunya harus sering2 minta maaf sama org2 yg berinteraksi sama saya dan mohon ampun sama Tuhan kalau sudah membuat hambaNYA sakit hati. Hmm…Saya jadi teringat kata2 org bijak:

Berhentilah menunggu kondisi membaik. Lakukan sesuatu agar kondisi membaik.


Ga bisa dipungkiri sama sekali kalau dalam interaksi kita sesama manusia memiliki peluang yg tidak 0 untuk saling bergesekkan. Sudah jadi hal yg lumrah jika ada saling ketidakenakan hati di suatu kesempatan. Tapi yg utama ketika itu sudah terjadi dan saya menyadari, saya harus minta maaf. Sebab saya khawatir, jika saya mengulur2 maaf saya (terlepas apakah saya salah atau tidak) Tuhan akan mengulur2 pula kebarokahanNYA untuk saya. Kan serem tuh…wong saya ada disini buat cari kebarokahan Alloh kok…

Nah kalau kamu yg melupakan seseorang, pernah??

Hmm…jujur, pernah ada keinginan melupakan beberapa nama dengan penguatan bahwa melupakan org adalah hak pribadi masing2. Tapi kemudian saya berpikir ulang, buat apa juga saya melupakannya?? Karena sakit hati?? Atau terbawa emosi?? Duuh kok saya jadi ga tau terimakasih gini sih, terlebih jika org2 itu sudah dengan tulus ikhlas menyertakan nama saya dalam doa2nya, meridhokan benaknya untuk mengingat saya dalam sujud2nya. Seharusnya kan saya mendoakan balik, bukan malah dilupakan, sehebat apapun sakit hati (yg mungkin) sudah org2 itu perbuat pada saya.

Haha, kemudian saya tertawa sejenak. Mudah sekali berbicara demikian, prakteknya?? Nah, kalau ada org yg bilang begitu gmn?? Hmm…awalnya memang ga mudah, apalagi kalau emosi sudah berpartisipasi, wuiihh…bisa perang bathin. All the beginning is difficult, isn’t it?? Eiitt…ada tapinya lho, tapi bukan berarti yg susah itu ga bisa jadi mudah. The cluster point is in your effort. Usahakan atuh!! Usaha, man, usaha!! Insya Alloh, da atuh Tuhan oge ga berdiam diri ketika melihat hambaNYA berusaha mah. Apalagi buat mencari kebarokahanNYA.

Oh iya, saya teringat si my Pap yg pernah bilang begini (tapi kayanya si my Pap oge ngutip dari tempat lain da…hihihi):

2 hal yg harus saya ingat
1.Kesalahan2 saya pada org lain
2.Kebaikan2 org lain pada saya

2 hal yg harus saya lupa
1.Kebaikan2 saya pada org lain
2.Kesalahan2 org lain pada saya


Hmm…kemudian saya jadi mengingat2 lagi siapa2 sajakah yg sudah saya sakiti hatinya. Tuhan ampuni saya…teman maafkan…

Sunday, December 20, 2009

Kecemasan -part1-

Cemas…

Lagi-lagi saya merasakannya. Semakin saya mencoba memokuskan pikiran pada buku-buku berjudul Abstract Algebra, semakin erat pula kecemasan itu mengikat saya. Terlebih putaran jarum menit dan detik terlihat lebih cepat dari biasanya, waah kayanya kecepetan deh tuh jam, sampai2 saya berhalusinasi ada yg tak beres dengan jamnya. Padahal orangnya yg ga beres, hahaha…


Teorema 2.8.5 itu yg terakhir dosen Abstract jelaskan pekan lalu, masih ada 1 subab dan kurang lebih 3 Teorema dan 1 Corollary yg harus dibuktikan oleh si dosen sebelum akhirnya subab 2.10 menjadi bagian yg harus saya presentasikan. Dan kenyataan bahwa saya baru berhasil memahami pembuktian 1 Teorema yg membuat saya cemas, masih 2 lagi yg belum. OMG!! Kumaha ieu teh Rabb…

Kebiasaan dosen yg menjelaskan pembuktian dengan cepat dan membuat seolah2 waktu tidak ada, semakin mempercepat proses peningkatan kecemasan diri saya. Hingga pada akhirnya bukan materinya yg saya perhatikan, tapi justru fokus saya pada menit yg terus-menerus bergerak itu dan sibuk mencari2 cara mengatakan kesiapan untuk maju tapi untuk membuktikan 1 Teorema dulu. Haha emang bisa gitu??

“Sir, I just done one theorem, is it ok??”

Hah?? Masa gitu bilangnya?? Ya ampuun, mahasiswa macam apa saya. Terlebih ketika seorang teman mengatakan, “Where have you been all this two months??” Saya tersentak juga mendengarnya. Ada nada penyindiran disana. Iya ya kemana aja saya selama dua bulan ini?? 3 Teorema aja kok ga kelar.

Tapi kemudian sisi kemanusiaan saya muncul (baca: pembelaan diri), “Yee…you didn’t know what I have made for this task...all out you know…” tapi cuma bisa dikatakan dalam hati. Lagipula mungkin dia akan bilang, “Who care…”

Saya kemudian berpikir ulang. Kata2 teman saya itu memang benar, meski menyindir dan saya sempat merasa tak enak hati, tapi aahh this is not the right time to be offense…justru sebaliknya, saya harusnya bersyukur teman saya mengatakan itu. Sehingga saya sadar bahwa there is no excuse whatever the conditions…wong yg lain aja bisa kok menyelesaikannya dalam waktu yg relative sempit, lha saya?? I have 2 months at least for doing those, tapi hasilnya??

Huff…akhirnya hanya bisa berkata, oke fine this is truly my fault, done. Tanpa harus ada pembelaan diri yg sebenarnya ga tepat juga. So please enjoy yourself waiting for the time…Rabb help me…

Asli, lemes pisan, jadi merasakan bagaimana kondisi pihak yg tidak siap presentasi tapi tak mampu menghindari. I just praying to my Lord then…give me the best, Rabb…whatever what that will be like…pasrah sepasrah2nya. Alhamdulillahnya, I have made slide for the first theorem.

Tik tok tik tok…time is running out for me prepared my word…Duuh seandainya ada kolam atau lemari atau apa kek yg bisa hiding myself. Keadaan terjepit kadang bikin pikiran jadi doesn’t make sense yah, masa berimajinasi have a power to make myself invisible siy?? Waahh…parraaahh!!

Dengan hati lapang, bismillah ya Rabb, I’ll do my best ajah. 45 minutes left, dosen tercinta saya itu sudah memasuki 2 Teorema terakhir sebelum akhirnya bagian saya. Oh God, help me help me, I’m screaming then, tapi sekali lagi cuma dalam hati.

“Ok, I think this theorem is easy to understand, so you can learn it by yourself. Please tell me if you get confuse, what line...bla…bla…”

Dia menghentikan penjelasannya. Kelas hening tiba2, semuanya asik dengan bukunya masing2, ada beberapa yg berdiskusi dengan rekan sebelahnya. Sementara saya panik di keheningan saya.

Setelah ini pasti saya dipanggil, saya membatin.

And…

”Ok, we finished the class. See you later then.”

Upss…am I dreaming?? The class finished?? OMG!! Kan masih ada beberapa waktu. Aahh whatever yg penting class is over. Tengkyu Rabb, tengkyu pissaan banget sekali, YOU are saving my life (over and over again). Hiks…hiks…dalam keterdiaman saya tiba2 mata saya berembun. Can’t say anything other than, Alhamdulillah makasih Rabb…

Satu hal yg kemudian saya sadari, Alloh menolong saya lagi. Tapi…saya yg tampak tak menolong diri saya sendiri. Sebegitu banyak waktu, apa yg sudah saya lakukan?? Sampai2 dhuha hanya mengambil minimalnya (2 rakaat), lail juga hanya 7, target harian tilawah musti ngerapel, apalagi hapalan quran OMG hampir tak ada seayat pun!! Dan semua itu saya lakukan demi menyelesaikan tugas tepat waktu, but it was totally wrong!! Sebab hasilnya juga nonsense.

Ada kesalahan yg saya lakukan disana. Entah saya sadari atau tidak.
Saya tak menyertakan DIA.
Melupakan hakNYA sebagai Illah.

Dan yg membuat saya merutuki diri saya karena malu yg sangat adalah meski saya begitu (tak menyertakanNYa, melupakanNYA, dhuha, lail, tilawah hanya pada bagian minimalnya) Alloh tak mengabaikan saya, malah menyelamatkan saya. Lalu sopankah jika saya meminimalisir ibadah saya, padahal itu adalah bentuk bersyukur manusia pada Tuhannya?? ITU SUNGGUH TIDAK SOPAN!! Hamba macam apa saya??

Aaahh Rabb…maafkan saya (lagi)…

“Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan kepadaNYA. Dan jika kamu menghitung nikmat Alloh, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Alloh).” (Q. S. Ibrahim (14), 34)


***

Satu slide hidup yg akan berulang kali saya buka untuk mengingatkan diri saya bahwa Alloh sudah sebegitu baiknya pada hidup saya tapi tak saya balas dengan kebaikan yg justru akan menolong diri saya sendiri…