RSS Feed
Showing posts with label Contemplation of Heart and Mind. Show all posts
Showing posts with label Contemplation of Heart and Mind. Show all posts

Sunday, December 12, 2010

Masanya

Dan segala sesuatu itu akan ada di masanya. Tiba sesuai waktu yg dijanji Pemilik raya. Tak mengalami perlambatan pun ketergesaan di milisekonnya. Semuanya telah ditakar sesuai kadar. Ketika yg diharap dalam hidup belum kunjung menyapa, bahkan saat doa2 sudah kian terlafadz di luar kepala, bukan berarti Tuhan tak cinta lantas mengabaikan pinta hambaNYA. Justru Tuhan menyimak setiap aksara yg dilantun dengan setumpuk asa itu. Jangankan pada rentang frekuensi suara paling rendah yg bisa didengar manusia, gumaman hati pun Tuhan tak lewati barang seabjad kata. Jadi masih perlukah menebalkan ragu di dinding jiwa??


Tuhan tak diam pada tangan2 yg ditengadahkan calon ibu dan ayah yg meminta suara riuh celoteh putra di bilangan usia mereka. Tak mungkin bertindak semena2 pada kerasnya ikhtiar yg dilakukan seorang pemuda mencari penghidupan yg menjadi tanggungannya. Tak serta merta tak mengindahkan wajah2 hamba yg telah cukup waktu untuk menggenapi dan menjaga agamanya dengan menikah.


Tuhan tak kemudian lalai pada baik2nya doa tentang apa saja yg manusia bisa mohonkan di semua situasi, ketika menjumpai hambatan menuju keberhasilan, menunggu masa2 melahirkan untuk ibu2 yg hamil, saat mereka yg sekolah menempuh ujian, harap2 cemas bagi siapa saja terpisah jauh dari keluarga, bahkan saat org2 menghadapi keadaan yg jauh lebih rumit dari cobaan. Banyaklah rupanya.


Boleh jadi ada ruang yg Tuhan cipta untuk manusia maknai melalui sabarnya. Ada latihan2 untuk menjadi siap dan kuat bahkan layak di detik hari2nya. Ada masa tunggu yg perlu digenapi sebelum pada akhirnya senyum indah merekah di wajah. Tuhan ingin lihat sedikit lagi kesungguhan ikhtiar dari harapan2 yg terlantun santun itu. Apakah pupus sebab tergerus keadaan dan reaksi psikis yg turun naik, atau malah memilih menegar tak ikut arus meski hanya dipagari batang2 ringkih.


“Fase itu berat,” mungkin yg merasakannya berkomentar begitu. Ya, bisa jadi benar. “Eksplanasi klise,” lainnya dengan wajah agak sedikit ditekuk berseloroh. Ah ya, mungkin itu juga tak salah. Apalagi ketika sebuah jawab begini dilebur ke udara, “sudah takdir”. Iya, takdir.


Semuanya lantas menjadi gagu. Alibinya dicekal ragu. Mulut terkatup kaku. Dan barisan kata pun akhirnya dibungkam kelu. Mungkin, itu jawaban pamungkas ketika ada yg ‘ngeyel’ soal ‘kenapa jalan saya begini, kenapa org lain begitu’ dan gagal mensyukurinya di kejadian pertama ketika ketentuan Tuhan itu ada di jalannya.


Tapi hati manusia yg bisa menentukan apakah setiap tingkatan peristiwa di kehidupannya itu berat atau ringan. Sebab sekerat organ kecil itu mampu mengubah sempit menjadi lapang, atau sebaliknya. Dan alur takdir ada bukan tanpa alasan. Dengan atau tanpa sepengetahuan manusia. TakdirNYA ada bukan untuk menumpulkan iman, melainkan menajamkannya hingga benar2 terhujam tak tergantikan.


KetentuanNYA ada agar manusia yakin tak ada sesuatu apapun yg berhak dikultuskan selain catatan rapi tanpa cela di Lauhul Mahfuzh itu. Tentu saja tak ada yg mampu menafikan bahwa Tuhan menuliskan jalan cerita manusia dengan sebaik2 pena dan tinta.


Pada masanya setiap tanya ‘kenapa’ itu akan selalu ada jawabnya ‘karena’. Cukup minta kata sabar pada Tuhan hingga huruf demi huruf itu berintegrasi menjadi sebuah jawaban yg terang. Dan tentu, sabar di kejadian pertama, yg tak ada pahala lain yg menandinginya kecuali Surga (hadits qudsi). Sabar yg tak diawali marah, keluh kesah, apalagi putus asa.


Allohua’lam.


***


Dan saya pun belajar kian dalam tentang kejadian2 yg datang dan pergi sesuai waktunya…

Saturday, April 24, 2010

Menghargai Kenegatifan Diri?? *thinking then...*

Adalah dia seorang Adi, lengkapnya Aghniadi, siswa SMA kelas XI SMAN 5 Bandung yang pintar dan punya banyak kelebihan. Jagonya eksak, debat, bahkan menulis dan membuat puisi. Rasanya tak berlebihan jika saya memuji Adi. Hampir seluruh tulisan yang digoreskannya di note2 FB atau di situs pribadinya http://pelajarparuhwaktu.wordpress.com/ membuat saya terpaku sekaligus terpukau.

Untuk remaja seumurannya, dia memiliki kedewasaan dalam memandang sesuatu, tapi ga kolot, bahasanya jg ga berat, paslah sama karakter anak muda yang gaol, hehe...Hadduuhh makin bangga aja deh pernah kenal dengan sosok lelaki remaja berkacamata itu. Seperti hari ini, ga sengaja saya buka blognya, dan menjatuhkan pilihan pada catatan Adi yang berjudul MEMANUSIAKAN MANUSIA. Berikut isi lengkapnya. And i suggest to u to read this one...

***

Published: March 30, 2010 / 20:16

Category: Thoughts

Tags: antitesis, limit, manusia, matematika, negatif, positif, sempurna

-MEMANUSIAKAN MANUSIA-


Tadi siang, pelajaran matematika lagi ngebahas limit.

Ya, masalah tak hingga, mendekati, fungsi, juga positif dan negatif (dan ya, dari pelajaran eksak macam ini cuma informasi linguistik yang gue tangkap. Huh.)

Dari pembahasan selama 90 menit tadi, cuma ada dua kata yang terngiang-ngiang terus di kepala gue. Positif, dan negatif. Karena nampaknya dua hal itu lagi berhubungan erat banget sama gue.

Setiap hal diciptakan masing-masing punya antitesis. Salah dan benar. Gelap dan terang. Hitam dan putih. Positif dan negatif. Dua hal yang ada karena satu sama lain, dan tidak saling menihilkan. Dunia bisa membentuk sesuatu yang benar karena melihat pernah ada kesalahan terjadi. Terang bisa membuat sesuatu yang besar melekatkan bayangan gelap dibaliknya. Hitam adalah rupa final setelah semua warna dikonsentrasikan, dimana putih adalah awal dimana warna didispersikan.

Kausa dan efek yang ironisnya bergumul dalam waktu yang abadi.

Seperti manusia. Manusia adalah tempat dimana pergumulan abadi itu ada, sisi positif dan negatif. Dimana keduanya ada secara bersamaan. Nggak heran manusia itu makhluk yang rapuh. Diombang-ambing dua hal kontras.

Manusia mengejar kesempurnaan. Manusia adalah utopis, berharap tempat dan kondisi dimana segalanya sempurna, berjalan selaras.

Maka buat gue, menjadi manusia yang sempurna, dan menjalani hidup yang sempurna pula, bukan berarti berjalan di dunia tanpa cacat. Menjadi sempurna adalah karena kita mempunyai kedua sisi kontras itu, positif dan negatif, bukannya berpikir salah satunya yang baik untuk kita.

Gue, dan semua orang di luar sana adalah gabungan positif dan negatif. Dan jelas nggak mungkin positif dinegatifkan, begitupun sebaliknya. Jadi hiduplah juga dengan kenegatifan kita.

Itulah mengapa kita disebut manusia.

Dan menghargai semua kenegatifan kita (kesalahan, kegagalan, kesialan) juga manusiawi.

P.S: Strongly influenced by Samuel Mulia & Joko Anwar, two of the most creative person I’ve ever known.

http://pelajarparuhwaktu.wordpress.com/2010/03/30/memanusiakan-manusia-3/

***

Banyak catatan2 kecil yang muncul dalam benak saya sesaat setelah membaca tulisan Adi. Menghargai kenegatifan diri yang sudah sepaket Tuhan ciptakan di setiap diri kita ini memang perlu, agar kita sadar bahwa sebab kenegatifan diri itulah yang menyempurnakan predikat kita sebagai manusia. Namun kita dikasih pilihan sm Tuhan, mau membuat kenegatifan itu jadi lebih negatif atau menjadikan kenegatifan itu lebih positif (sebab pada dasarnya kita ga bisa menghilangkan sisi negatif diri kita) dan bisa mendatangkan kebaikan ga hanya buat diri sendiri tapi juga buat org lain.

Selebihnya...saya benar2 terpaku dan terpukau. Thx Adi...

Wednesday, January 06, 2010

Suatu Pagi di Suatu Hari dalam Hidupku

Pagi hari adalah gairah.
Simbol kehendak.
Juga kesegaran di awal waktunya.

Bagi orang-orang beriman, pagi adalah inspirasi cinta, atas dasar iman itu. Maka pagi tak sekedar sepotong waktu, tapi juga dasar filosofi hidup: filosofi bergegas. Pagi selalu datang dalam sekejap. Ia hanya memberi waktu dan kesempatan dalam detik-detik awalnya. Orang-orang harus berlomba, sedikit saja terlewatkan, sesungguhnya ia telah kehilangan kesempatan. Seperti itu pula kehidupan itu sendiri. Selalu ada kompetisi, persaingan, bahkan perebutan kesempatan. Orang-orang yang hidup dengan semangat dan filosofi pagi sangat memahami bahwa persaingan menuju kehidupan ini diawali dari detik pertama kita menginginkan apa yang kita mau, bahkan sebelum kesempatannya datang.


Karena itu bergegas seperti pagi, adalah kebutuhan siapa saja. Memahami filosofi pagi dalam kehidupan merupakan kebutuhan setiap mukmin. Sebab hidup adalah perebutan. Siapa terlambat tak akan mendapat.

Spirit pagi juga menjelaskan bahwa hidup harus dijalani dengan ketenangan sikap, kematangan sudut pandang. Tetapi pada saat yang sama, ia memberi efek yang sangat jauh. Seperti efek bayang-bayang pagi yang selalu lebih panjang di banding bayang-bayang siang. Bahkan bayang-bayang sore, sangat jarang bisa hadir secerah pagi.

Tak ada yang seramah pagi. Dalam heningnya ia menenangkan, dalam segarnya ia menggairahkan, dalam hangatnya ia menggerakkan. Jika pagi menyapa di suatu hari. Maka, sambutlah. Lalu jadilah seorang mukmin yang senantiasa punya gairah untuk bergegas.


Suatu pagi di suatu hari di suatu fase hidupku

Saturday, October 24, 2009

Rasa Itu Bernama T A K U T


Takut…

Dalam keheningan saya mengulangi kata itu. Hmm…Entah apa itu ‘takut’ sebenarnya. Saya pikir setiap orang pernah merasakannya, entah itu sekali, berkali-kali, atau sering kali. Saya juga meyakini masing2 makhluk pasti Tuhan titipkan padanya rasa takut, dan masing2 makhluk merasakan takut dgn caranya sendiri.

Yg sehat takut sakit. Yg sakit takut meninggal. Yg lajang takut nggak menikah. Yg menikah takut nggak bisa punya keturunan. Yg punya keturunan takut nggak bisa menghidupi. Yg sekolah takut nggak lulus. Yg lulus takut nggak bisa kerja. Yg kerja takut dipecat. Yg jalan kaki takut ketabrak. Yg naik kendaraan darat takut tabrakan. Yg ada di laut takut tenggelam. Yg ada di udara takut jatuh atau nabrak gunung.


Hmfh…dunia Nampak sudah nggak aman…Ternyata banyak sekali rasa takut yg dialami manusia itu ya??


Tapi kemudian saya berbicara pada diri saya sendiri, rasa takut itu wajar, sebab wajar maka manusiawi. Nggak dibilang aneh kok kalau pernah atau bahkan sering mengalami takut. Knp coba?? Iyahlah, sebab rasa itu salah satu cobaan yg Alloh kasih untuk setiap makhlukNYA. Sebagai jalan pendekat dgn DiriNYA jika saja manusia menyadari lebih dalam.

Alloh mencoba manusia dgn sedikit rasa takut, rasa lapar, rasa melarat, dsb. Tujuannya yg nggak lain dan nggak bukan adalah untuk mengingatkan manusia, kalau ada Alloh dibalik setiap perkara dunia dan seisinya ini. Kalau ada Alloh tempat manusia mengadu apapun keluh kesahnya. Kalau ada Alloh tempatnya setiap khauf & roja’ (takut&harap). Kalau ada Alloh, Dzat Yg Tidak Pernah Terlelap untuk Meneliti dan Mencermati setiap perilaku setiap makhlukNYA, dari yg paling besar di mata manusia (seperti jagad raya ini) sampai yg paling kecil (kuman2 atau makhluk bersel satu yg hanya bisa dilihat dgn mikroskop canggih).

Dan berkali2 saya mengingatkan lagi pada diri sendiri, jika rasa takut itu sedang menghantui hati, jiwa, raga, dan pikiran, jangan takut, krn ada Alloh. Alloh yg harusnya jadi pelabuhan hati ketika takut.

Rumusnya, ketika takut, serahkan setiap ketakutan itu pada Sang Pemberi Rasa Takut, Alloh. Karena hanya dengan mengingat Alloh saja hati menjadi tenang. Jangan sampai rasa takut itu jadi berhala yg bisa menggeser posisi Alloh di hati kita. Jangan takut, sebab Alloh pasti tidak akan lepas tangan dengan diri kita, setelah kita sempurnakan ikhtiar, menggenapkannya dengan doa, dan menyerahkan setiap akhir hanya pada Sang Akhir.

Jangan takut yaa, saya…

***

Ketika rasa takut mulai terasa akut…
(Al Baqarah 155)

Saturday, October 10, 2009

Ada Kita di Keheningan Doa Orang Lain...


Beragam capaian hidup mungkin sudah pernah atau tengah kita rasakan saat ini. Satu hal penting yang kemudian tidak hanya untuk dicatat tapi juga perlu diingat oleh setiap kita adalah bahwa semua capaian itu tak lepas dari dua hal: kerja keras dan doa.

Kerja keras mutlak dilakukan sebab setiap keinginan hanya bisa diwujudkan melalui ikhtiar. Sementara doa hadir sebagai bentuk kerendahdirian kita dihadapan kemahatinggian Alloh, agar kita semakin menyadari bahwa hanya pertolongan dari Alloh sajalah yang mampu memudahkan dalam setiap capaian hidup, yang hanya bisa mengeluarkan kita dari semua macam kebuntuan jalan. Wa kafaa billahi nashiro...

Keduanya bertalian erat. Hampir bisa dipastikan tak mungkin terpisah satu sama lain. Seperti dua sisi mata uang. Sebab jika hanya mengandalkan kerja keras tanpa doa, adalah kesombongan. Sebab berdoa terus-menerus tanpa usaha adalah bukti kemalasan dan kebodohan.

Kita tidak pernah tahu, pada doa yang mana persisnya kita mendapat karunia. Kita tidak pernah tahu dari doa siapa kita mendapat pengabulan kebaikan. Kita tidak pernah tahu, boleh jadi rahmat Alloh yang datang pada kita adalah doa dari seseorang ketika kita bersin.


Tanpa kita sadari, banyak orang yang tak lelah mendoakan kita, dalam doa-doa umum atau doa-doa khusus, dan kita tak pernah tahu pada doa yang mana kita mendapat karunia, kebaikan, hidayah, kemudahan rezeki atau kesembuhan dari Alloh. Bahkan dari bersin yang bisa kita jadikan kesempatan untuk saling berbalas doa.

Doa orang lain di sekeliling kita memberi kontribusi yang cukup kuat pengaruhnya terhadap diri kita. Bahkan Rasululloh mengingatkan, salah satu doa yang amat mustajab disisi Alloh, yaitu doa yang dipanjatkan orang lain untuk kita, tanpa permintaan dan tanpa sepengetahuan kita. Itulah yang beliau sebut dengan ad du’a bi zhahril ghaib.

Doa di belakang layar itu sangat mustajab, dan dengan segala kerendahan hati kita harus yakin bahwa ada orang yang melakukannya untuk kita, tanpa kita sadari, tanpa kita tahu dan tanpa perlu tahu, tetapi wajib mengucapkan syukur dan terima kasih. Karena itu kita tidak bisa mengklaim bahwa apa yang kita dapatkan sekarang ini, tidak ada campur tangan orang lain.

Orang yang paling dekat dengan kita adalah ayah-ibu kita.

Mereka berdualah yang ruang ingatannya tak akan pernah kosong dari sosok-sosok kita, dalam keadaan apapun. Doanya tidak pernah putus menyertai kita, dalam segala keadaan. Entah kita sedang dekat dengan mereka, entah pula sedang saling berjauhan.

Ya selalu ada yang mendoakan kita, tanpa kita sadari. Maka kitapun baiknya menyertakan orang lain pula dalam bait-bait doa kita. Mendoakan orang lain adalah wujud perhatian yang besar, empati, peduli. Dengan mendoakan orang lain, kita bisa kian mengikis keakuan, menyingkirkan ego dan menggerus arogansi dalam diri.

Seseorang yang kerap mendoakan orang lain, adalah orang yang lebih dekat dengan kenyataan hidup dan sadar akan segala keterbatasan. Merasakan kesyukuran lebih dalam terhadap kondisi yang dialami, karena melihat ada kondisi-kondisi yang lebih berat di ruang kehidupan yang lain.

Maka sertakanlah orang lain dalam doa-doa kita, karena boleh jadi, kebaikan yang kita alami hari ini, saat ini, detik ini, adalah bagian dari munajat seseorang yang kita tidak kita sadari.

Allohua’alam…

p.s. Alhamdulillahi jazaakumullohu khoiro buat ayah-ibu-nya Rina yang ga pernah lepas doa buat anak2nya...juga buat org2 yang sudah dengan ikhlas menyertakan nama Rina dalam setiap sujud dan doanya, baik yang diminta langsung ataupun dalam ketidaktahuannya Rina...

Monday, October 05, 2009

Obrolan Langkah2



INT. PELATARAN SENJA YANG TAK LAGI RAMAI –HAMPIR PETANG

KIRI:
Ayolah bergerak!! Selagi Tuhan masih menakdirkan kita saling melengkapi dan bersinergi membangun mimpi.

KANAN:
Hmm…Jika aku berhenti saja sampai di pemberhentian ini, apa akan menjadi masalah buatmu, Teman??

KIRI:
Haha…Kau bercanda ya??
Bagaimana caranya aku berlari mengejar pelangi jika hanya ada aku sendiri??

KANAN:
Tapi…aku ga yakin bisa kembali berdiri, apalagi berlari…

KIRI:
Jangan bilang kamu masih ingin duduk disini?? Oh salah…lebih kuperjelas: terpuruk disini??

KANAN:
Kamu sadis!!
Aku ini butuh dihibur bukan malah dicaci seperti itu…

KIRI:
Hahaha…hiburan macam apa yang kamu harapkan?? Masih belum sadar juga jika tak ada tempat disini bagi siapa saja yang merasa putus asa dan meratapi nasib tak berhenti2!!

KANAN:
Maksudmu, aku??

KIRI:
Tergantung. Jika kamu merasa dan tak beranjak dari posisimu, iya.
Kamu akan ditinggalkan. Lebih tepatnya kita. Ayolah…jangan kamu ikuti egomu. Pikirkan aku. Aku mau maju!!

KANAN:
Jadi…aku yang salah?? Aku yang tidak memikirkanmu?? Hhh…tidakkah kamu melihat keadaanku??

KIRI:
Itu keadaan yang kamu buat sendiri. Seharusnya kau rasakan sendiri, tak perlu melibatkan yang lain. Tapi sekarang kamu tidak hanya membuat aku tertinggal, tetapi kita…
Harusnya tak bisa kutolerir, sebab perjanjian awalnya kita tidak akan pernah berhenti kecuali kita sudah mati…atau benar2 sendiri. Apa kamu sudah mati?? Apa kamu sekarang sendiri??

KANAN:
Aku tidak mati, belum mau. Dan aku juga masih kamu temani. Aku masih ingin mewujudkan mimpiku yang lain.

KIRI:
Kalau begitu ayoo!! Tidak harus menunggu keadaan membaik untuk jadi baik kan?? Malah kita yang harus jadi pionernya. (agak sedikit melemahkan suara) Berlakulah baik pada dirimu sendiri dulu. Jangan kamu tahan2 untuk berdiri. Sekarang katakan apa yang kamu butuhkan??

KANAN:
^_^ (tersenyum)

KIRI:
Kenapa?? (salah tingkah)

KANAN:
Kalau kamu bersikap manis seperti yang terakhir itu tadi, lucu juga ya…hehehe

KIRI:
Halah…sudah ayo cepaaatt!! (kembali galak)


# Ending Story #

Keduanya kemudian melanjutkan langkah yang sempat terhenti, meski hari kian gelap, meski KANAN bergerak diseret KIRI.
Sembari menatap mentari yang kian merunduk di ujung hari, keduanya berikrar tidak lagi2 berpikir untuk berhenti mengejar pelangi...

Dua Sesuatu

Hari ini…

Ya…hari ini…aku masih bisa menyunggingkan senyum pada mentari yang bersinar tanpa bosan. Masih sanggup mencuci beberapa potong pakaian. Masih kuat untuk membersihkan kamarku yang berantakan. Masih ikhlas menyapa orang-orang yang kutemui di jalanan. Masih bisa menyaksikan teman2 kuliahku cekikikan. Masih bisa bermimpi tentang masa depan yang ingin kuwujudkan. Dan masih2 yang lainnya. Aku bersyukur untuk semua itu Tuhan…

Hmmffh…Aku berjalan menuju kampus, sendiri. Saat itu masih sepi. Pukul 6 pagi waktu Surabaya. Tapi…rasanya matahari sudah cukup tinggi. Iseng kuamati orang2 yang berlalu lalang di sisi kanan dan kiriku ini. Tapi…aku malah sibuk dengan diriku sendiri. Soalnya ada 2 sesuatu yang sedang berdiskusi. Meski aku tak cukup mengerti tentang apa yang di bahas disini, tapi…sepertinya ini sebuah kontemplasi. Hmm…begini katanya…

(sesuatu kesatu)
Aku harus meneruskan langkah meski terkadang hidup hadir dalam wajah yang tidak ramah. Apa bisa itu jadi alasan untuk menyerah dan mengaku kalah?? Mungkin, tak apa kurasa kalau sesekali berhenti, menatapi jejak yang sebelumnya kulalui, atau sekadar memenuhi perbekalan yang hampir kandas sama sekali, atau untuk menarik napas panjang untuk bertahan di perjalanan selanjutnya barangkali. Yang jelas harus tetap maju, bergerak!! Tak ada alasan kembali apalagi berhenti bahkan sampai menyesali. Sebab ini jalan yang kuyakini menuju suksesku sendiri.

(kemudian sesuatu yang lain datang tanpa diundang)
Yakin itu bukan jalan yang keliru?? Yakin kalau ini jalan yang dituju?? Yakin kalau kamu tidak melihat petunjuk bahwa kamu harus berhenti dan kembali pada jalan utama sebelum kemudian memutuskan berbelok ke arah yang ini?? Yakin ka…

(sesuatu kesatu kembali bicara)
STOP!! Berhenti menyuarakan hal2 yang meragu macam itu. Sungguh tidak membantu, geramku. Meski diam2 aku membenarkannya juga. Sedikit membenarkannya, kuralat. Banyak2 menyimpan pikiran itu menjelmakanku seperti manusia yang tak bersyukur. Terkadang aku tak paham dengan tampilan2 fakta yang ada, tapi itu bukan jadi alasan untuk tak bisa mengartikan makna di baliknya, bukan??

Yeah…kuakui, memang tidak mudah mencari jembatan penghubung antara ego dan logika. Terkadang keduanya tak sampai pada kata sepakat dalam memandang dan memaknai sesuatu. Dan itu sempat menyulitkan si Aku sebagai pelaku utama menjalankan keduanya. Tapi semua bisa dipelajari. Dan yang sedang kulakukan sekarang adalah: belajar.

Belajar mengendalikan ego yang meletup2. Belajar untuk tidak menyerah dan bangkit lagi ketika hidup menggempur jatuh. Belajar untuk tidak pesimis meski juga belum yakin untuk optimis. Belajar memulai lagi dari awal jika merasa gagal tapi masih ingin memperjuangkannya. Belajar untuk mengorientasikan segala jenis ikhtiar pada mencari keridloan Tuhan. Belajar memahami bahwa ada wilayah2 tertentu yang tak bisa dijangkau dengan logika manusia. Belajar memasrahkan akhir episode setiap fase hidup hanya pada Alloh dengan sebenar2 ikhlas setelah sebelumnya ikhtiar dan doa yang giat. Belajar…belajar…dan belajar…

***
Kampus masih sepi ketika dua sesuatu itu berhenti ‘berdiskusi’. Kemudian aku membuka kembali sebuah pesan singkat dari seorang teman yang sedang berada jauh darisini.

Rina..
Wajar kok ngrasa pesimis,
tp itu kn bwt ‘sesuatuny’
bkn psimis krn ga akn dpt brqhny kn?..
krn apapun hasilny insya Alloh
itu yg brqh bwt Rn..
dn ga smw yg kita mw itu
brqh..
Tapi..klo emg itu brqh bwt Rn..
meskipun scr logika ga mgkn..
rn insya Alloh akn dptkan itu...
skrg..doa, wait and see aj..=)

Message details:
From Mr. R <+3546185***>
Subject …
Date 19/02/2009
Time 7:58 am
Type Text message

p.s. untuk pesimis yang selalu tersenyum sinis: siapa bilang aku mau mengakhiri ceritaku dengan tragis?? Ga la yaw…Malah aku akan membuatnya manis…I promise…

Monolog Dua Sisi


Sisi 1:
Kesedihan memiliki alasan untuk bertindak konyol. Dan sekarang aku sedang bersedih. Jadi apakah penarikan kesimpulan bahwa aku diperkenankan bertindak konyol bisa dikatakan valid??

Sisi 2:
Valid untuk kategori mana?? Modus Tolenkah?? Atau Modus Ponen?? Atau mungkin Silogisme?? Ahh…jangan2 itu hanya akal2anmu saja sebagai pembenaran diri. Haha…kurasa aku masih punya sedikit akal sehat untuk mencegahmu bertindak bodoh. Ayolah…bukankah ini kesedihan yang biasa?? Kupikir dirimu sudah cukup lihai mengendalikan diri: hati dan pikiranmu.

Sisi 1:
Itu tak semudah yang kau bayangkan!! Kau benar, kesedihan ini memang biasa, tapi apakah karena ini sudah menjadi kebiasaan lantas tak boleh bersedih?? Aku sempat berpikir bahwa aku sudah cukup kebal dengan hal2 seperti itu. Tapi jika datangnya berulangkali dan merobohkan setiap dinding pertahanan yang setengah mati kubangun, apa aku masih punya kekuatan menegakkannya untuk yang kesekian kali??

Sisi 2:
Absolutely!! Itu yang perlu kau lakukan. Sebab jawabannya disana. Tidak ada jalan keluar lain untuk menegakkan bangunan yang roboh kecuali membangunnya lagi. Tapi kupikir kerusakan yang kau alami tak separah yang kau bayangkan. Coba lihat, tinggal sedikit saja menata bagian2 yang terkoyak. Ditambah sedikit melapisi dinding2 yang terlihat retak. Itu saja. Mudah kan??


Sisi 1:

Tapi aku akan menangis jika mengingat serpihan2 yang hampir lantak itu. Bagaimana bisa aku memperbaikinya jika mengingatnya saja aku sudah tersedu.


Sisi 2:

Hmm…aku tak bisa memungkiri persangkaanku padamu, bahwa kau akan menangis dalam perjalanan mengembalikan keutuhan dirimu. And If I were you, I would never keep it. Sebaliknya, kupikir membiarkan matamu mendapatkan haknya sementara waktu tak mengapa, toh tak akan berlangsung lama. Tapi kau harus berjanji pada dirimu sendiri untuk yang satu itu.


Sisi 1:

Terkadang aku merasa lelah ketika aku menyadari –lagi- satu fakta penting tentang jalan hidup: aku mendapati diriku tengah mendakinya setelah sebelumnya mungkin menuruni rangkaian jalan itu. Dan bukan sekadar ucapan, menyadari sesuatu yang masuk akal ketika berada di pendakian hidup amat sangat tidak mudah ketimbang menerimanya saat hidup menapaki jalan yang landai.


Sisi 2:

Tidak mudah memang. Tapi kupikir mencoba merasionalkan pikiran harus sering kita lakukan. Yakinlah bahwa kita bisa. Bisa karena biasa. Biasa karena terpaksa. Yeah…terkadang sesuatu awalnya perlu dipaksakan.


Sisi 1:

Sebentar, kau bilang apa tadi, kita?? Hei…kita itu minimal dua pihak lho…


Sisi 2:

Lho memang kita kan?? Aku dan kau…karena kita satu. Jadi harus saling mendukung satu sama lain.


Sisi 1:

Oh…oke…kupikir hanya aku sebab aku merasa kau menyudutkanku.


Sisi 2:

Kuakui, awalnya iya, rasanya memperlakukanmu seperti objek yang tertindas lucu juga. Tapi seketika aku sadar jika kau tertindas maka aku pun tertindas, berlaku sebaliknya. Kedua kita sama2 bisa berperan sebagai syarat cukup dan syarat perlu dalam sebuah implikasi. Dimana bagian yang satu akan jadi kuat sebab ada bagian lain.


Sisi 1:

Oke…oke…kau cukup tahu kemampuan logika matematikaku sampai tahap apa, jadi lebih baik kusarankan kita kembali pada merasionalkan pikiran. Aku sedikit menangkap maksud dari frasa kata itu, kenapa aku –kau juga- harus melakukannya. Tujuannya tak lain adalah agar aku tak terjerat dan terjebak dalam kesedihan berkepanjangan, betul kan??


Sisi 2:

Exactly right!! Sebab aku –kau juga tentunya- memilih untuk jadi orang yang bahagia. Orang yang menaklukan kesedihannya atas –sebutlah- kegagalan untuk kebaikan yang Tuhan masih rahasiakan. Yang boleh jadi rahasia itu lebih indah. Jadi rasanya tidak berlebihan jika kau –aku juga- mengusung kesedihan sebagai alasan untuk bersyukur.


Sisi 1:

Kau ada benarnya juga. Aku jadi sangat bersyukur masih bisa merasakan sedih, sebab aku bisa melihat dunia yang lain melalui pandangan yang lain. Dan yang pasti, aku bisa semakin dekat dengan Tuhanku. Yang menciptakan kesedihan sekaligus penawarnya dalam waktu yang bersamaan, tanpa aku sadari.


Sisi 2:

Ok…problem solving has done…good girl…=)