RSS Feed

Sunday, February 14, 2010

Menjadi Jujur pada Diri

Ini pengalaman ketiga saya membaca karya Dewi Lestari. Sejak mengkhatamkan novel Supernova-Petir-nya, lalu menamatkan 11 kisah Recto Verso yg mengagumkan, kali ini saya dibuat takjub oleh rentetan bahasanya dalam Perahu Kertas. Saya punya pandangan sendiri terhadap karya Dee (nama pena Dewi Lestari –red), tentunya pandangan yg berbeda ketika saya menikmati karya Helvy Tiana Rossa atau Asma Nadia (dua penulis yg saya gila2i karyanya). Sebab menurut penerawangan kacamata sastra saya (jjiiiaahh gayanya doang tuh), genre tulisan Dee dan HTR-Asma Nadia memang dua hal yg berbeda, namun memiliki kesamaan: sarat makna (nah yg ini serius).


Makna. Itulah yg sangat penting saya kira. Satu kata yg harus bisa kita lihat dan ‘ambil’ ketika membaca sesuatu, tak hanya membaca sebuah buku, tapi membaca seluruh liku kehidupan. Meski bukan dalil Al-Quran atau Hadist yg tentunya jauh lebih indah dan penuh makna, saya rasa tak ada salahnya membelajarkan diri melalui media ini. Meski bukan novel kategori religi, namun setiap baitnya justru melabuhkan saya pada pemikiran tentangNYA. Tentang keindahan jalan yg sudah DIA gambarkan untuk saya jauh2 hari, bahkan ketika langit bumi beserta apa2 yg diantara keduanya ini belum lagi tercipta. Dan saya sangat bersyukur dengan itu.

Saya berharap tak berlebihan dalam mengapresiasi karya Dee ini, dan memang tak ada niatan kesana. Hanya mencoba merefleksi apa yg saya baca saja. Sebab selama buku itu menjadi fokus mata saya, saat itu pula saya diajak tak hanya menikmati bahasa sederhananya, melainkan digandeng untuk menjelajah tentang diri saya sendiri, tentang apa yg saya ‘mau’, tentang apa yg sudah saya jalani untuk itu, tentang aaahhh banyaaakk…Intinya ada sebuah pemaksaan yg samar disana: Saya harus berpikir. Buku ini sukses menyentil benak saya yg sedang berwarna abu2, menjadikannya sedikit cerah dan tak lagi buntu.

Buku itu kebanyakan berbicara soal impian yg berbalut keraguan, soal mental yg dijatuhkan keadaan, soal keyakinan yg tak hanya butuh pengakuan melainkan pembuktian, soal kebebasan yg harus digenggam sehingga tak karam diperolokkan kehidupan.

Saya diingatkan bahwa semuanya akan semakin ringan dan lebih berarti ketika menjalaninya sepenuh hati. Tanpa desakan pihak manapun dari kanan dan kiri. Tanpa harus memuaskan sosok lain dan menyudutkan diri sendiri. Tapi tetap mencoba memberi keseimbangan antara keinginan pribadi dengan pihak2 di luar diri. Buku ini ingin bilang, “Be yourself, be honest to yourself!” Yang pertama mungkin sudah biasa didengar, jadi diri sendiri. Tapi yg kedua nampak jarang berembus di udara, jujur pada diri sendiri.

Lalu seusai menuntaskan kalimat terakhir di lembar terakhirnya saya langsung mencatat sesuatu dalam buku ingatan saya. Ada beberapa tanya disana yg harus saya jawab. Sudah jujurkah saya, inikah jalan yg saya mau, sudah bisakah bernegosiasi dengan realita sehinga mimpi yg saya punya tak harus jadi kandas ketika nyatanya hidup memunggunginya.

Kemudian saya sadar, bahwa mimpi saya tak harus menguap meski udara semesta teriknya tak terkira. Bahwa mimpi saya tak harus jadi beku sebab suhu yg mencapai minus dan membuatnya mati kutu. Bahwa untuk menjadi diri saya yg sukses di masa mendatang, mungkin saya harus berjalan memutar. Yaa…jalan yg berputar. Jadi ingat nasehat seseorang, “jangan pernah anggap jalan yg kita lalui adalah jalan akhir, sebab bisa jadi jalan ini adalah tahapan menuju impian dan cita2.”

Duuuhh, pokonya ga akan habis se-note deh ngupas tuh buku. Bingung juga mau nulis apa lagi. Hmm…sebagai penutup saya hanya mau berkata untuk diri saya sendiri:

Na, kamu ga perlu jadi Dewi Lestari buat bisa merangkai kata2 yg melahirkan banyak makna. Kamu ga perlu jadi Sherina buat bisa menggubah nada dan menyanyikannya. Kamu juga ga perlu jadi Affandi buat bisa meramu warna dan menjadikannya lukisan indah dunia.

Kamu hanya cukup jadi dirimu sendiri apa adanya, menjadi jujur sebagai seorang RINA atas setiap realita yg siap kamu makna.

And…finished.

No comments:

Post a Comment