Saya menyaksikannya sendiri, kalau mau berlebihannya, dengan kedua mata dari kepala saya sendiri, bagaimana keadaan sebagian kecil rakyat di Indonesia Raya tercinta ini. Saya menghela napas, agak panjang, mungkin Pak Presiden harusnya sering2 melawat mereka, melihat keadaan orang-orang yang dipimpinnya, jadi bisa lebih punya gambaran untuk program kerja selama menjabat sehingga benar2 memiliki sasaran dan target yg tepat.
Pun dengan Pak Menteri2 itu, ada baiknya study banding ke tempat-tempat seperti ini. Bukan ke Amerika atau Mesir, bukan dengan pesawat terbang atau limosin, bukan dengan pelayanan mewah dan hotel bintang lima. Mereka harusnya saksikan apa yg saya lihat ini. Wajah-wajah yang diliputi risau dengan kulit-kulit yang kian melegam. Bersama gerobak atau kereta dorong kecil atau kotak-kotak kayu kecil atau bakul-bakul tua mereka merenda waktu yang terasa makin berat dilampaui.
Sambil menyermati polah dan wajah mereka, kemudian saya berpikir, mungkin merekalah pejuang cinta sebenarnya. Yang menyusahkan raga2 rapuh mereka untuk sebuah tawa orang2 terkasih yg menunggu di rumah. Yang memenatkan pikir mereka demi memanjangkan tarikan nafas orang2 tercinta yg menjadi tanggungannya. Betapa tak pernah terlintas untuk hentikan langkah saja, justru sebaliknya mereka tetap bertahan meski kaki2 mereka telah terlumat linu yang sangat. Meski hati2 mereka tengah meluruh di antara keputusasaan yang menderak-derak ruang batinnya untuk berhenti, untuk menyerah pada kenyataan yang tak pernah berpihak.
Ah..hidup. Apa sebenarnya yang dicari? Makna hidupkah? Atau fakta hidup? Makna dan fakta. Dua hal yang yang kadang tak bisa dilihat dari mata yang sama. Perlu mata tambahan –mata ketiga dan keempat, batin dan benak- untuk menyingkap apa yang tersembunyi di balik keduanya.
Saya tersenyum, juga sempat menitikkan airmata, ragu, kesal, aneh, bingung. Tapi kesemua rasa itu menautkan saya pada berbagai perasaan lain. Cinta, rasa syukur, keberuntungan, kedewasaan, dan semangat. Mata saya diperlihatkan, inilah hidup, inilah kehidupan. Ada yang harus berpayah-payah demi secuil kehidupan. Namun di sudut yang lain, ada yg begitu mudah menggenggam kehidupan. Ada yang tersenyum di balik wajah muram. Meski ada yang menangis di balik gelak tawa. Ironis, sungguh ironis. Dan semakin saya menyadari, sekali lagi, bahwa kehidupan memang tersusun atas dua hal yg saling berironi, saling berkebalikan.
Hidup ini memang alur keironisan. Misteri yang dilengkapi intrik. Pantas banyak yang memilih akhiri hidup. Sebab mereka tak temukan kunci dari pintu misteri. Sebab mereka terlalu dini memutuskan bahwa mereka bukan lawan seimbang bergulat dengan hidup. Sebab mereka tak sabaran menanti lonceng dibunyikan dan wasit mengumumkan siapa pemenang atas pergulatan ini.
Hidup itu tidak mudah, seringkali saya mendengar ungkapan itu. Saya mengiyakan, bahkan berkali2 menyebutkannya, tapi bukan karena hidup tidak mudah lantas saya bisa terus2an mengeluh kemudian menyerah. Tidak. Justru sebab ia tidak mudah, maka saya lebih punya banyak peluang untuk belajar menaklukannya sambil tak henti2 beringsut lebih mendekat padaNYA.
***
Stasiun Kota…
Hmmfh…saya bersyukur ketinggalan kereta bisnis hari itu, sebab saya bisa menyaksikan slide2 lain tentang hidup yg membawa saya pada kenyataan yg tak mampu saya ingkari: nikmat2 yg Alloh titipkan untuk hidup saya, yg belum lagi usai saya syukuri, ehh…nikmat yg lainnya sudah datang mengantri. Alhamdulillah…
Catatan lama si Sayah di 28 Desember 2005
Saat roda2 besi kereta ekonomi tujuan Jakarta ini kian berat beradu…
Pun dengan Pak Menteri2 itu, ada baiknya study banding ke tempat-tempat seperti ini. Bukan ke Amerika atau Mesir, bukan dengan pesawat terbang atau limosin, bukan dengan pelayanan mewah dan hotel bintang lima. Mereka harusnya saksikan apa yg saya lihat ini. Wajah-wajah yang diliputi risau dengan kulit-kulit yang kian melegam. Bersama gerobak atau kereta dorong kecil atau kotak-kotak kayu kecil atau bakul-bakul tua mereka merenda waktu yang terasa makin berat dilampaui.
Sambil menyermati polah dan wajah mereka, kemudian saya berpikir, mungkin merekalah pejuang cinta sebenarnya. Yang menyusahkan raga2 rapuh mereka untuk sebuah tawa orang2 terkasih yg menunggu di rumah. Yang memenatkan pikir mereka demi memanjangkan tarikan nafas orang2 tercinta yg menjadi tanggungannya. Betapa tak pernah terlintas untuk hentikan langkah saja, justru sebaliknya mereka tetap bertahan meski kaki2 mereka telah terlumat linu yang sangat. Meski hati2 mereka tengah meluruh di antara keputusasaan yang menderak-derak ruang batinnya untuk berhenti, untuk menyerah pada kenyataan yang tak pernah berpihak.
Ah..hidup. Apa sebenarnya yang dicari? Makna hidupkah? Atau fakta hidup? Makna dan fakta. Dua hal yang yang kadang tak bisa dilihat dari mata yang sama. Perlu mata tambahan –mata ketiga dan keempat, batin dan benak- untuk menyingkap apa yang tersembunyi di balik keduanya.
Saya tersenyum, juga sempat menitikkan airmata, ragu, kesal, aneh, bingung. Tapi kesemua rasa itu menautkan saya pada berbagai perasaan lain. Cinta, rasa syukur, keberuntungan, kedewasaan, dan semangat. Mata saya diperlihatkan, inilah hidup, inilah kehidupan. Ada yang harus berpayah-payah demi secuil kehidupan. Namun di sudut yang lain, ada yg begitu mudah menggenggam kehidupan. Ada yang tersenyum di balik wajah muram. Meski ada yang menangis di balik gelak tawa. Ironis, sungguh ironis. Dan semakin saya menyadari, sekali lagi, bahwa kehidupan memang tersusun atas dua hal yg saling berironi, saling berkebalikan.
Hidup ini memang alur keironisan. Misteri yang dilengkapi intrik. Pantas banyak yang memilih akhiri hidup. Sebab mereka tak temukan kunci dari pintu misteri. Sebab mereka terlalu dini memutuskan bahwa mereka bukan lawan seimbang bergulat dengan hidup. Sebab mereka tak sabaran menanti lonceng dibunyikan dan wasit mengumumkan siapa pemenang atas pergulatan ini.
Hidup itu tidak mudah, seringkali saya mendengar ungkapan itu. Saya mengiyakan, bahkan berkali2 menyebutkannya, tapi bukan karena hidup tidak mudah lantas saya bisa terus2an mengeluh kemudian menyerah. Tidak. Justru sebab ia tidak mudah, maka saya lebih punya banyak peluang untuk belajar menaklukannya sambil tak henti2 beringsut lebih mendekat padaNYA.
***
Stasiun Kota…
Hmmfh…saya bersyukur ketinggalan kereta bisnis hari itu, sebab saya bisa menyaksikan slide2 lain tentang hidup yg membawa saya pada kenyataan yg tak mampu saya ingkari: nikmat2 yg Alloh titipkan untuk hidup saya, yg belum lagi usai saya syukuri, ehh…nikmat yg lainnya sudah datang mengantri. Alhamdulillah…
Catatan lama si Sayah di 28 Desember 2005
Saat roda2 besi kereta ekonomi tujuan Jakarta ini kian berat beradu…
No comments:
Post a Comment