“Mbah, kelahiran tahun berapa sih??” Tanya saya suatu ketika pada mbah.
“Wah, mbah mah udah tua, kelahiran ’40.”
(hehe, yah atuh namanya juga mbah2, ya pasti udah tua…*dalam hati itu teh* eehh mbah lho yg bilang ya)
Lantas pikiran saya loncat kesana kemari, menghubungkan skema yg satu dengan yg lainnya tentang arti usia, masa tua, dan bekal menuju kesana. 69 tahun sudah mbah lalui, saya bergumam. Subhanalloh, setahun lebih panjang dari nabi.
Akankah saya tiba di masa tua saya? Menyaksikan uban2 yg kelak akan bermunculan. Memperhatikan keriput yg nantinya jadi kawan. Menikmati jerih payah muda sembari mengawasi beberapa cucu di pekarangan rumah hari tua yg damai di paris van java. Hahaha…meuni jauh pisan atuh neng…
Saya tertawa, tapi dengan kesadaran tinggi. Suatu hari mungkin saya akan menjadi mbah seperti mbah saya sekarang. Tua, berkacamata, jalan kadang dituntun pula. Tapi menjadi seperti itu tidak lantas menjadikan saya khawatir yg berlebihan, seperti phobia terhadap kaca misalnya sebab ga tahan kalo liat keriput di sekitar wajah, atau ketakutan saat pergantian usia tiba, atau menggunakan cream anti aging yg ngga kira2 dengan harapan bisa memperlambat penuaan di muka. Hehe…
Saya juga sadar bahwa menjadi tua merupakan tahapan yg tak terelakan sesudah masa muda, tentu dengan catatan jika Tuhan masih berkehendak memanjangkan bilangan usia saya di bumiNYA. Tapi sekarang masalahnya bukan berada pada seberapa tua saya dan sedekat apa saya dengan masa itu. Hal yg lebih utama untuk dipikirkan adalah sesadar apa saya dengan masa muda saya dan apa yg bisa saya ukir di masa itu sehingga keberadaan saya benar2 bisa diperhitungkan dan tidak sekedar sebagai figuran yg hanya sekali dua kali jalan. Tapi poin besarnya adalah pada optimalisasi kemampuan yg saya genggam, bukan pada arogansi diri ingin dilihat dan dielu2kan.
The emphasis is in my consciousness, bahwa saya harus bisa berkontribusi pada dunia yg menjadikan saya ada. Tidak hanya sekedar ingin. Tapi mimpi yg tak punya pilihan untuk tak diwujudkan. Baik dengan tindakan yg bisa dilihat secara kasat mata atau yg hanya mampu dirasa oleh hati saja.
Finally I myself, once again, can’t deny, because there’s no denying, I have no idea to make an alibi, that the days I have are really priceless. Sangat memungkinkan bagi saya memberi andil pada bumi yg makin hari menjadi tua ini. Saya bersyukur dengan masa muda saya, meski tak semuanya indah dan sesuai asa. Setidaknya banyak hal yg saya alami, banyak hal yg saya jumpai.
So Rina…come on, act your age!! (hehe…Rina said to herself to stop behaving like someone who is much younger, because she is really beginning to feel her age = feel old, wkwkwkwk)
And…I’m starting to show my age then…
Sejurus saya jadi teringat mbah, belakangan jadi sangat bersyukur, sebab saya masih bisa lari2, loncat2 sana sini, jalan cepat sesuka hati, bahkan mau kombinasi jalan sambil lari juga ga akan kewalahan bakal sakit kaki. Pun masih bisa nuntun si mbah yg katanya sudah jadi nini2 (hehe, si mbah mah angger, da namanya juga mbah2 ya pasti nini2 juga lah…).
Saya bersyukur masih dikelilingi orang2 baik, yg masih menyisakan ingatannya untuk saya, yg ga bosan membaitkan doa2 tulus buat saya, yg tanpa henti menyemangati semua ikhtiar saya. Membuat saya tersadar bahwa saya tidak sendirian. Dan seharusnya saya tidak pernah merasa benar2 sendirian. Ada kamu, dia, mereka, kalian, baik dengan tanda kutip ataupun tidak. Dan…salah satunya adalah si mbah…
Pokoknya mah semakin semangat saja saya menjalani hari2 yg saya miliki. Sebab keberadaan saya disini, bukan tanpa alasan, bukan dengan sesuatu yg tak berdasar. Tuhan, makasih untuk hari kemarin, hari ini, dan hari besok yg masih jadi misteri.
***
“Pokonya mba Ina harus berhasil, mbah selalu doakan buat mba Ina, nih lihat, photo mba Ina selalu mbah bawa kemana2…”
Mbah puteri mengeluarkan dompet tuanya, warna merah yg sudah agak memudar pula, dan…aahh benar, ada photo saya disana…my tears was falling then…
“Wah, mbah mah udah tua, kelahiran ’40.”
(hehe, yah atuh namanya juga mbah2, ya pasti udah tua…*dalam hati itu teh* eehh mbah lho yg bilang ya)
Lantas pikiran saya loncat kesana kemari, menghubungkan skema yg satu dengan yg lainnya tentang arti usia, masa tua, dan bekal menuju kesana. 69 tahun sudah mbah lalui, saya bergumam. Subhanalloh, setahun lebih panjang dari nabi.
Akankah saya tiba di masa tua saya? Menyaksikan uban2 yg kelak akan bermunculan. Memperhatikan keriput yg nantinya jadi kawan. Menikmati jerih payah muda sembari mengawasi beberapa cucu di pekarangan rumah hari tua yg damai di paris van java. Hahaha…meuni jauh pisan atuh neng…
Saya tertawa, tapi dengan kesadaran tinggi. Suatu hari mungkin saya akan menjadi mbah seperti mbah saya sekarang. Tua, berkacamata, jalan kadang dituntun pula. Tapi menjadi seperti itu tidak lantas menjadikan saya khawatir yg berlebihan, seperti phobia terhadap kaca misalnya sebab ga tahan kalo liat keriput di sekitar wajah, atau ketakutan saat pergantian usia tiba, atau menggunakan cream anti aging yg ngga kira2 dengan harapan bisa memperlambat penuaan di muka. Hehe…
Saya juga sadar bahwa menjadi tua merupakan tahapan yg tak terelakan sesudah masa muda, tentu dengan catatan jika Tuhan masih berkehendak memanjangkan bilangan usia saya di bumiNYA. Tapi sekarang masalahnya bukan berada pada seberapa tua saya dan sedekat apa saya dengan masa itu. Hal yg lebih utama untuk dipikirkan adalah sesadar apa saya dengan masa muda saya dan apa yg bisa saya ukir di masa itu sehingga keberadaan saya benar2 bisa diperhitungkan dan tidak sekedar sebagai figuran yg hanya sekali dua kali jalan. Tapi poin besarnya adalah pada optimalisasi kemampuan yg saya genggam, bukan pada arogansi diri ingin dilihat dan dielu2kan.
The emphasis is in my consciousness, bahwa saya harus bisa berkontribusi pada dunia yg menjadikan saya ada. Tidak hanya sekedar ingin. Tapi mimpi yg tak punya pilihan untuk tak diwujudkan. Baik dengan tindakan yg bisa dilihat secara kasat mata atau yg hanya mampu dirasa oleh hati saja.
Finally I myself, once again, can’t deny, because there’s no denying, I have no idea to make an alibi, that the days I have are really priceless. Sangat memungkinkan bagi saya memberi andil pada bumi yg makin hari menjadi tua ini. Saya bersyukur dengan masa muda saya, meski tak semuanya indah dan sesuai asa. Setidaknya banyak hal yg saya alami, banyak hal yg saya jumpai.
Semua itu memaksa saya untuk tidak hanya mampu mengamati tapi sekaligus supaya mengerti, memahami, hingga kemudian mensyukuri.
So Rina…come on, act your age!! (hehe…Rina said to herself to stop behaving like someone who is much younger, because she is really beginning to feel her age = feel old, wkwkwkwk)
And…I’m starting to show my age then…
Sejurus saya jadi teringat mbah, belakangan jadi sangat bersyukur, sebab saya masih bisa lari2, loncat2 sana sini, jalan cepat sesuka hati, bahkan mau kombinasi jalan sambil lari juga ga akan kewalahan bakal sakit kaki. Pun masih bisa nuntun si mbah yg katanya sudah jadi nini2 (hehe, si mbah mah angger, da namanya juga mbah2 ya pasti nini2 juga lah…).
Saya bersyukur masih dikelilingi orang2 baik, yg masih menyisakan ingatannya untuk saya, yg ga bosan membaitkan doa2 tulus buat saya, yg tanpa henti menyemangati semua ikhtiar saya. Membuat saya tersadar bahwa saya tidak sendirian. Dan seharusnya saya tidak pernah merasa benar2 sendirian. Ada kamu, dia, mereka, kalian, baik dengan tanda kutip ataupun tidak. Dan…salah satunya adalah si mbah…
Pokoknya mah semakin semangat saja saya menjalani hari2 yg saya miliki. Sebab keberadaan saya disini, bukan tanpa alasan, bukan dengan sesuatu yg tak berdasar. Tuhan, makasih untuk hari kemarin, hari ini, dan hari besok yg masih jadi misteri.
***
“Pokonya mba Ina harus berhasil, mbah selalu doakan buat mba Ina, nih lihat, photo mba Ina selalu mbah bawa kemana2…”
Mbah puteri mengeluarkan dompet tuanya, warna merah yg sudah agak memudar pula, dan…aahh benar, ada photo saya disana…my tears was falling then…