Monday, December 13, 2010
Another Humz
Sunday, December 12, 2010
Masanya
Dan segala sesuatu itu akan ada di masanya. Tiba sesuai waktu yg dijanji Pemilik raya. Tak mengalami perlambatan pun ketergesaan di milisekonnya. Semuanya telah ditakar sesuai kadar. Ketika yg diharap dalam hidup belum kunjung menyapa, bahkan saat doa2 sudah kian terlafadz di luar kepala, bukan berarti Tuhan tak cinta lantas mengabaikan pinta hambaNYA. Justru Tuhan menyimak setiap aksara yg dilantun dengan setumpuk asa itu. Jangankan pada rentang frekuensi suara paling rendah yg bisa didengar manusia, gumaman hati pun Tuhan tak lewati barang seabjad kata. Jadi masih perlukah menebalkan ragu di dinding jiwa??
Tuhan tak diam pada tangan2 yg ditengadahkan calon ibu dan ayah yg meminta suara riuh celoteh putra di bilangan usia mereka. Tak mungkin bertindak semena2 pada kerasnya ikhtiar yg dilakukan seorang pemuda mencari penghidupan yg menjadi tanggungannya. Tak serta merta tak mengindahkan wajah2 hamba yg telah cukup waktu untuk menggenapi dan menjaga agamanya dengan menikah.
Tuhan tak kemudian lalai pada baik2nya doa tentang apa saja yg manusia bisa mohonkan di semua situasi, ketika menjumpai hambatan menuju keberhasilan, menunggu masa2 melahirkan untuk ibu2 yg hamil, saat mereka yg sekolah menempuh ujian, harap2 cemas bagi siapa saja terpisah jauh dari keluarga, bahkan saat org2 menghadapi keadaan yg jauh lebih rumit dari cobaan. Banyaklah rupanya.
Boleh jadi ada ruang yg Tuhan cipta untuk manusia maknai melalui sabarnya. Ada latihan2 untuk menjadi siap dan kuat bahkan layak di detik hari2nya. Ada masa tunggu yg perlu digenapi sebelum pada akhirnya senyum indah merekah di wajah. Tuhan ingin lihat sedikit lagi kesungguhan ikhtiar dari harapan2 yg terlantun santun itu. Apakah pupus sebab tergerus keadaan dan reaksi psikis yg turun naik, atau malah memilih menegar tak ikut arus meski hanya dipagari batang2 ringkih.
“Fase itu berat,” mungkin yg merasakannya berkomentar begitu. Ya, bisa jadi benar. “Eksplanasi klise,” lainnya dengan wajah agak sedikit ditekuk berseloroh. Ah ya, mungkin itu juga tak salah. Apalagi ketika sebuah jawab begini dilebur ke udara, “sudah takdir”. Iya, takdir.
Semuanya lantas menjadi gagu. Alibinya dicekal ragu. Mulut terkatup kaku. Dan barisan kata pun akhirnya dibungkam kelu. Mungkin, itu jawaban pamungkas ketika ada yg ‘ngeyel’ soal ‘kenapa jalan saya begini, kenapa org lain begitu’ dan gagal mensyukurinya di kejadian pertama ketika ketentuan Tuhan itu ada di jalannya.
Tapi hati manusia yg bisa menentukan apakah setiap tingkatan peristiwa di kehidupannya itu berat atau ringan. Sebab sekerat organ kecil itu mampu mengubah sempit menjadi lapang, atau sebaliknya. Dan alur takdir ada bukan tanpa alasan. Dengan atau tanpa sepengetahuan manusia. TakdirNYA ada bukan untuk menumpulkan iman, melainkan menajamkannya hingga benar2 terhujam tak tergantikan.
KetentuanNYA ada agar manusia yakin tak ada sesuatu apapun yg berhak dikultuskan selain catatan rapi tanpa cela di Lauhul Mahfuzh itu. Tentu saja tak ada yg mampu menafikan bahwa Tuhan menuliskan jalan cerita manusia dengan sebaik2 pena dan tinta.
Pada masanya setiap tanya ‘kenapa’ itu akan selalu ada jawabnya ‘karena’. Cukup minta kata sabar pada Tuhan hingga huruf demi huruf itu berintegrasi menjadi sebuah jawaban yg terang. Dan tentu, sabar di kejadian pertama, yg tak ada pahala lain yg menandinginya kecuali Surga (hadits qudsi). Sabar yg tak diawali marah, keluh kesah, apalagi putus asa.
Allohua’lam.
***
Dan saya pun belajar kian dalam tentang kejadian2 yg datang dan pergi sesuai waktunya…